Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN mengatakan “Tidak sedikit orang beranggapan, ulama identik dengan dunia dakwah dan tarbiyah, memberikan mauidhah kepada umat dan mengawal moral masyarakat. Sehingga sebagian orang menilai ulama tak sepatutnya terjun ke dunia politik praktis, di mana pernah dalam masa perjalanan bangsa ini, politik identik dengan ketidaksucian.
Padahal, sebagai pewaris Nabi, ulama semestinya mampu menjalankan tugas apa pun. Termasuk terjun ke dunia politik praktis dengan satu catatan penting, bulatnya tekad dan sucinya niat, semata-mata demi menegakkan keadilan dan menciptakan kemakmuran bagi rakyat demi mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala.
Apalagi UUD 1945 dan Pancasila merupakan warisan nilai dan wujud konkret pengorbanan para pendiri bangsa yang di antaranya juga terdiri atas para ulama. Setidaknya, ada tiga nilai strategis mengapa kini sosok ulama secara terang-benderang direkomendasikan.
Pertama, kapasitas intelektual. Ulama adalah sosok pembelajar, yang tak pernah bosan mengkaji dan mengamalkan ilmu, serta giat mengaktifkan majelis ilmu. Bahkan, lebih jauh, ulama di dalam Alquran disebutkan tidak semata memadai secara intelektual, tetapi juga memiliki self control yang kuat dalam menjalani tugas keummatan, yakni takut kepada Allah (QS 35: 28).
Dengan kata lain, ulama tak semata cerdas secara kognitif, tapi juga sangat cerdas secara emosional dan spiritual, sehingga kecerdasan intelektual yang dimiliki mampu mendorongnya berkiprah secara lebih baik, lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada diri, keluarga, kelompok, dan golongannya. Indonesia ini tidak sedang kekurangan orang pintar tapi sedang kekurangan orang benar. Ulama adalah sosok manusia yang tidak sekadar pintar tetapi juga benar.
Kedua, secara sosiologis, kesadaran umat Islam akan posisi strategis ulama dalam menyelamatkan kedaulatan NKRI mulai membaik, bahkan kesadaran itu dalam beberapa hal telah menjelma menjadi gerakan konkret di tengah-tengah kehidupan umat Islam sendiri.
Dalam kalkulasi politik, situasi dan kondisi tersebut tentu saja sebuah faktor utama yang patut diperhatikan. Terlebih kini para ulama tidak lagi sebatas menjadi pelengkap demokrasi tetapi telah berubah menjadi penentu warna dan arah demokrasi. Peristiwa Aksi Super Damai 212 adalah bukti tak terbantahkan akan hal tersebut. Seperti kita ketahui bersama, gerakan ulama dalam 212 telah menjadikan negara mampu secara gagah berani menegakkan hukum secara adil atas pelaku penistaan agama yang dilakukan oleh pejabat negara di tengah situasi politik yang sangat “panas”.
Eksistensi ulama menjadi semakin disadari strategis di negeri ini seiring dengan berbagai peristiwa yang mendiskreditkan ulama, baik secara hukum maupun sosial. Publik telah dibuat sadar dengan beragam bentuk penyerangan dan kriminalisasi terhadap ulama. Media mungkin saja bisa mengaburkan esensi dari peristiwa yang terjadi tetapi nalar kritis publik tak mungkin dibungkam dengan narasi irasional dan ganjil. Terlebih dalam sejarah kehidupan bangsa, ulama dan masyarakat ibarat dua sisi mata uang, tak bisa dipisahkan, apalagi dipertentangkan.
Terkait relasi ulama dan masyarakat, Bagi masyarakat, fatwa seorang alim yang mereka percayai berarti satu ‘kata-keputusan’ yang tak dapat dan tak perlu dibanding lagi. Sering kali telah terbukti, bagaimana susahnya bagi pemerintah negeri menjalankan satu urusan, bilamana tidak disetujui oleh alim-ulama di daerah yang bersangkutan. Sebaliknya pun begitu pula.
Beruntunglah salah satu masyarakat, bila mempunyai seorang alim, sebagai pemimpin rohani yang tahu dan insaf akan tanggungannya sebagai penganjur dan penunjuk jalan. Aman dan makmurlah salah satu daerah bilamana pegawai-pegawai pemerintah di situ tahu menghargakan kedudukan alim ulama yang ada di daerah itu.” Seiring dengan masifnya gerakan stigmatisasi terhadap Islam dan umat Islam, di mana tak mungkin ada “juru bicara” yang mampu menyampaikan perihal Islam secara komprehensif dalam segala sisi kehidupan, melainkan para ulama. Jadi, kini saatnya ulama ikut “bertarung” dan menentukan arah politik umat. Sudah bukan zamannya lagi, ulama sebatas dikunjungi untuk dimintai dukungan. Itu telah berlalu. Masyarakat mulai sadar dan tampaknya akan benar-benar all out mendukung.
Ketiga, persatuan ulama. Sisi yang sangat menentukan dalam dinamika perpolitikan belakangan adalah bersatunya para ulama. Bersatunya ulama ini tentu menjadi satu modal besar akan kepercayaan masyarakat terhadap ulama dalam membenahi kehidupan bangsa dan negara. Sebab, ulama yang direkomendasikan atau terjun di dalam ranah politik praktis bukanlah sosok yang maju atas kemauan sendiri, tetapi hasil musyawarah yang didukung oleh mayoritas ulama lainnya.
Kondisi tersebut diprediksi akan mampu menjadikan sosok ulama yang maju akan mampu mempertahankan jati dirinya yang tidak pragmatis dan hedonis. Sebab, ada banyak ulama dan tokoh masyarakat yang akan mengoreksi, memberikan nasihat dan kritik tajam jika pada kemudian hari sang ulama terlihat bengkok. Dan ini akan berjalan secara sistemis, mengingat kesadaran untuk membangun bangsa dan negara lebih baik dari sisi kedaulatan, terutama secara teritorial dan ekonomi bukan semata menjadi kesadaran ulama. Namun, hal ini merupakan tuntutan mayoritas negeri ini yang para elite partai pun mulai sangat peka terhadap masalah ini, hingga mereka pun bergerak dengan selalu memperhatikan rekomendasi dari ijtima ulama.
Pada kegiatan PHBI yg dilaksanakan oleh satu Partai di ibu kota provinsi Aceh, Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN Melalui tausiyahnya mengatakan “Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.
Orang yang bangga dan membusungkan dada mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu ini tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri.
Momen demokrasi Indonesia sudah semakin dekat. pemilihan presiden dan pemilu legislatif akan diadakan serentak. Namun, momen yang seharusnya menjadi sukacita akan perubahan yang lebih baik lagi ini ternyata tidak disambut baik oleh pihak dari kaum golongan putih yang kebanyakan anak muda juga golongan tua yang mengklaim bahwa politik itu kotor maka jangan didekati.
5.000.000 lebih mahasiswa dengan berbagai fokus bidang yang berbeda saat ini dipaksa oleh sistem untuk memenuhi kebutuhan peradaban. Sementara menurut riset, untuk mencapai kondisi ideal, Indonesia membutuhkan 100.000 dokter umum, 6.000 dokter spesialis, 2.700.000 teknisi, 600 aktuaris, dan masih banyak lagi sektor yang harus dipenuhi oleh para mahasiswa. Tak ayal, pikiran untuk menjadi spesialis pun muncul, dimana mahasiswa berpikir bahwa apa yang perlu dilakukannya hanyalah menggeluti fokus bidangnya saja.
Sikap pasif kaum golongan putih ini bukan sepenuhnya salah mereka. Ada banyak tagar-tagar, #2019gantipresiden vs #2019duaperiode yang muncul bersamaan dengan hoax dan black campaign yang membuat pesta demokrasi jauh dari diksi ‘pesta’. Apalagi muncul perdebatan panas tak sehat antara sebutan cebong vs kampret yang menyebabkan fenomena migrasi rakyat twitter ke instagram yang notabene lebih apolitis. Paparan informasi negatif dan berita bohong yang sudah hampir tak bisa disaring lagi ini menyebabkan anak muda kehilangan gairah untuk menentukan siapa pemimpin negara dan pembuat kebijakan di periode selanjutnya.
Untuk melihat euforia politik negeri ini, lihat lah mahasiswa di kampus, banyaknya mahasiswa dari daerah luar, pasti tidak sulit menemukan teman yang tidak ikut memilih nanti karena tidak mengurus perpindahan surat A5. Padahal kampus melalui BEM telah memfasilitasi mahasiswa untuk pindah lokasi pencoblosan.
Ada yang bilang karena kita jurusan teknik, terlalu sibuk dengan tugas besar dan laporan praktikum katanya. Katanya, anak engineer itu tidak suka hal yang ribet. Dia suka hal yang sudah ada rumusnya dan pasti, bukan seperti pembicaraan politik yang tak ada habisnya.
Mahasiswa yang lain “Milih gak milih ya apa pengaruhnya buat aku ? Toh, engineer kerjanya juga ga ada hubungan dengan politik”. Gara-gara karakteristik inilah, banyak diantara mahasiswa yang memilih untuk golput, ataupun bersikap apatis terhadap pesta demokrasi.
Dari segi sosial, golput bisa saja terjadi sebagai fenomena. Namun, bagaimanapun kecewanya kita terhadap realitas politik yang ada, golput bukanlah pilihan yang bijak dan solutif. Apalagi jika alasannya hanya karena tidak suka dan tidak merasa perlu dengan kegiatan politik. Persoalannya, banyak anak muda yang sudah terlanjur skeptis melihat politik identik dengan materi yang rumit dan menganggap tidak ada kaitannya dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Politik seolah-olah merupakan suatu materi yang dibatasi untuk kalangan tertentu, seperti halnya tanda ‘18+’ untuk kalangan 18 tahun keatas. Padahal, politik bukan hanya milik birokrat atau politisi. Bukan pula milik Presiden atau kepala daerah. Politik adalah kita semua yang berada dalam suatu negara. Mau tidak mau, kita menjadi praktisi di dalamnya baik sebagai pengamat maupun sebagai pelaku.
Coba buka mata mu, lihatlah betapa sebenarnya mahasiswa semua ini pada hakikatnya adalah pelaku politik, baik saintis yang sibuk di laboratorium maupun teknisi yang sibuk merancang bangunan sekalipun. misalnya sebagai teknisi, Jika kehidupan tidak sejahtera, temuan tidak dihargai, kompetensi tidak ter-standardisasi, dan lainnya, apa lagi yang bisa mengubahnya kalau bukan politik? Politik ini Aktivitas kebangsaan, ada banyak hal dalam kehidupan sehari-hari sebetulnya sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik. Politik mempengaruhi keseharian kita melalui kebijakan politik yang menyentuh tiga ranah sekaligus, yakni personal, rumah tangga, dan ruang publik.
Dalam ranah personal, kebijakan politik datang mengatur hak-hak kita sebagai warga negara, seperti hak atas pendidikan, kesehatan, kebebasan berekspresi, dan lain sebagainya. Di ranah rumah tangga, politik hadir dalam kebijakan yang menentukan harga sembako, tarif listrik, harga gas elpiji, sewa rumah, biaya pendidikan anak, hingga besaran upah atau gaji yang diterima oleh suami/istri yang bekerja.
Sementara di ruang publik, kebijakan politik hadir dalam aturan mengenai parkir, porsi bantuan untuk mesjid, penentuan jalan-jalan yang harus segera di rekontruksi, penetapan prioritas saluran pembuang air yang harus segera diwujudkan untuk tidak terjadi banjir dan jalan longsor serta aturan penggunaan fasilitas public lainnya. Bahkan, berpartisipasi dalam memperbaiki kehidupan warga di lingkungan kita juga sebetulnya sudah dikatakan berpolitik. Jadi, hampir semua aspek dan ruang hidup kita ternyata dipengaruhi oleh politik, entah disadari atau tidak. Salah satu produk politik yang akan sangat mempengaruhi masa depan lulusan mahasiswa teknik adalah Undang-Undang. Peraturan yang diciptakan oleh seperangkat legislatif yang terlebih dahulu telah dipilih pada pemilu seperti bermain judi. Jika kita memilih orang yang benar dan berkapabilitas maka luaran kebijakan yang dihasilkan akan baik, begitu pula sebaliknya. Sebab, setiap pemimpin nantinya akan memiliki perbedaan fokusan pengembangan.
Misalkan saja, pada era Soekarno, ia lebih fokus pada penataan struktur pemerintahan dan kebijakan baru. Melanjutkan karya Sang Proklamator, Soeharto membuat iklim ekonomi Indonesia memiliki sasaran memajukan pertanian dan industri. Pada zaman habibie, Indonesia dikenal gencar berusaha keluar dari keterpurukan ekonomi dengan mengeluarkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter. Pada zaman Megawati, Indonesia lebih fokus pada perbaikan sistem perbankan. Di era Gus Dur, kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah serta pajak dan retribusi daerah muncul.
Lain halnya pada masa SBY saat subsidi energi menjadi prioritas yang besar, dimana kebijakan ini menjaga daya beli masyarakat. Selain subsidi energi, salah satu alokasi anggaran terbesar melebihi subsidi energi itu adalah sektor pendidikan dengan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara di era Jokowi para teknisi, ahli sipil, arsitek, dan perencanaan serta usahawan sangat diuntungkan oleh kebijakan pembangunan infrastruktur dan investasi besar-besaran.
Kendati kita tidak mengambil minat dalam politik, bukan berarti politik tidak menaruh minat pada kita. Ada banyak sekali pihak yang ingin diuntungkan dengan proses pemilihan ini, sebab ada banyak kepentingan di dalamnya. Namun masalahnya, dengan sistem demokrasi seluruh suara akan sama nilainya, sehingga bagaimana pun seseorang pasti diminati oleh politik, se-acuh apapun ia terhadap politik itu sendiri.
Ibaratnya, orang-orang yang haus akan tahta itu akan menyebarkan ideologi, janji, dan kapabilitas palsu kepada 20.000 orang gila. Di lokasi yang sama, ada 20.000 professor pintar yang tahu dan cerdas, namun diam saja sebab ‘sibuk’ dan ‘tidak minat’ dengan pemilihan itu. Dalam eksekusi pemilu nantinya, pada akhirnya meskipun dengan kecerdasan yang superior, yang menang adalah kumpulan orang gila dengan pemimpin licik. Sang professor tahu, namun kecerdasan dan ke-tahu-annya tidak berguna. Sebab, yang dihitung adalah jumlah suara.
Konsekuensi dari terpilihnya salah satu dari pada kedua calon presiden, anggota DPR RI, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota nanti, akan menentukan setidaknya baik/buruknya bidang profesi kita di masa yang akan datang. Sebab, engineer tidak bisa berjalan sendiri. Ia pasti, mau tidak mau akan dipengaruhi oleh kebijakan yang akan dihasilkan.
Sedari dulu, mahasiswa selalu dielu-elukan sebagai subjek terpercaya dalam mengawal kebijakan pemerintah. Hal ini lantaran kalangan ini dianggap sebagai kaum intelek yang berada pada posisi netral. Benarkah? Tanpa bermaksud mengeneralisir dan menyalahi takdir, kondisi ini tidak salah jika mahasiswa dikatakan mampu melihat serta mengkritisi keadaan pemerintah. Tak hanya otaknya yang diklaim terlatih mengkaji persoalan, mahasiswa berada dibawah institusi legal sehingga track untuk mencapai meja pemerintah lebih dekat. Apalagi, para pengajar di area kampus adalah mereka yang sering bersinggungan langsung dengan pemerintah.
Ditambah lagi, pemikiran kritis mahasiswa dianggap mampu menganalisa kebijakan-kebijakan pemerintah. Maka posisi mahasiswa menjadi sangat strategis untuk turut berpartisipasi secara aktif dalam berpolitik karena menjadi pengawal kebijakan dan penyambung lidah rakyat.
Mirisnya, mahasiswa dibenturkan oleh permasalahan ”kuliah saja sudah susah, tambah susah mikirin politik”. Niat berkontribusi untuk bangsa tapi menunda sampai nanti saja kalau sudah sukses, lantas sekarang fokus kuliah tanpa peduli apa yang terjadi dengan bangsanya. Padahal semua yang kita hadapi adalah menyangkut politik, bahkan pendidikan yang kita nikmati sekalipun adalah bagian dari produk politik.
Kondisi lingkungan bangsa pasca reformasi pun menghadirkan kenyamanan tersendiri. Tidak ada gejolak nyata ataupun common enemy, sehingga tampak seperti semuanya tidak ada yang salah. Lupa melihat masih ada rakyat yang susah, sehingga label mahasiswa sekarang cenderung elitis dan kurang merakyat menjadi sukar untuk dielakkan. Katanya penyambung lidah rakyat? Saat ini, kurang lebih ada jumlah mahasiswa Indonesia kurang lebih sekitar7.500.000 jiwa atau 2,8 persen dari jumlah penduduk. Angka ini setara dengan 3,9 persen dari jumlah pemilih pemilu sebelumnya, yakni 192.000.000.
Sekitar 192.000.000 pemilih akan memilih presiden dan wakil presiden, 575 anggota DPR RI, 136 anggota DPD, 2.207 anggota DPRD provinsi, dan 17.610 anggota DPRD kabupaten/kota. Para calon legislator itu berasal dari partai nasional ditambah partai lokal yang khusus berkompetisi di Aceh. Jika kamu memang tidak menyukai kata politik, setidaknya pilihlah mereka yang akan menguntungkan dirimu, keluargamu, dan khususnya profesimu.
Memang, kita tidak bisa menilai segala aspek mengenai para calon, terkhusus di bidang yang bukan keahlian kita. Oleh karenanya, tidak ada salahnya bagi kita untuk mengkaji hanya di bidang keahlian masing-masing. Karena seiring bertambahnya usia, kita tidak bisa idealis, melainkan realistis. Misalkan saja, anak elektro yang fokus pada wacana kebijakan energy listrik, anak FTK yang mengkritisi dan melihat problem kemaritiman, dan bidang lainnya. Kita lahir dari proses politik, hidup bersama politik. Kita adalah politik itu sendiri. Tak bisa dihindari. Maka, tak perlu alasan lagi. Ayo bersuara melalui lembaran kertas pada pemilu mendatang.
Dalam kegiatan meeting koordinasi calon donatur, Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN Melalui tausiyahnya mengatakan “Pengusaha adalah seorang yang mengembangkan dan mengelola usaha bisnis dengan harapan memperoleh keuntungan dengan mengambil resiko dalam dunia ekonomi. Mereka kadang juga disebut sebagai Entrepreneur yang sangat berpengaruh dalam laju ekonomi di sebuah Negara. Oleh sebab itu mereka perlu dibekali dengan pemahaman tentang politik. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan adalah :
Pertama untuk Membekali enterpreneur menjadi warga negara yang baik. Seorang entrepreneur yang hidup sebagai warga Negara yang baik akan menaati setiap nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, memastikan tujuan dia usahanya akan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Kedua karena Realitas politik dipastikan mempengaruhi bidang ekonomi ataupun bisnis. Seorang Entrepreneurship membutuhkan skill untuk dapat membaca situasi politik, sehingga ia mampu mengambil keputusan yang tepat terkait bidang bisnis yang digelutinya.
Kenyataan di masyarakat kita temukan banyak para pengusaha akhirnya terjun ke dunia politik. Dengan pemahaman politik yang memadai, maka mereka sudah dibekali jika akhirnya mereka akan terjun ke dunia politik. Adapun materi-materi yang dibahas adalah yang perlu dipahami secara ringkas dan sederhana, seperti ;
1. Teori kekuasaan dan teori tujuan Negara serta teori system pemerintahan. 2. Tentang konsep politik seperti: konsep ideologi dan konsep Negara serta konsep kekuasaan. 3. Demokrasi dan musyawarah. 4. Hukum konstitusi dan kehidupan konstitusional.
Materi ini penting agar insan politik tahu aturan main kehidupan konstitusional dan dapat bermain berdasarkan aturan main yang ada.
5. Kultur Politik dan Kehidupan kemasyarakatan 6. Bisnis Dan Lingkungan Politik serta Bisnis dewasa ini. 7. Bisnis Politik Dan Politik Bisnis
Untuk mencapai hal ini maka perlu diberikan program khusus atau pelatihan bagi calon pengusaha. Pelatihan ini dilaksanakan dengan cara kreatif dan menyenangkan dalam bentuk presentasi, diskusi dengan materi yang real di masyarakat, dan latihan ketrampilan. Dengan demikian mereka akan menjadi pengusaha / entrepreneur yang akan berdampak pada pembangunan bangsa.
Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN Melalui pengajian politik di 1 stasiun radio online mengatakan “Islam menyebut politik dengan istilah Siyasah. Jika yang dimaksud politik adalah siyasah mengatur segenap urusan umat, maka Islam sangat menekankan pentingnya siyasah. Bahkan Islam sangat mencela orang-orang yang tidak mau tahu terhadap urusan umat. Tetapi jika siyasah diartikan sebagai orientasi kekuasaan, maka sesungguhnya Islam memandang kekuasaan hanya sebagai sarana menyempurnakan pengabdian kepada Allah. Tapi Islam hanya menjadi sarana dalam masalah kekuasaan.
Sebagian orang seringkali menilai istilah politik Islam diartikan sebagai politik menurut perspektif Islam, hal itu sebagai bentuk kewajaran karena dalam dunia nyata kita selalu disuguhkan praktik politik yang kurang atau sama sekali menyimpang dari ajaran Islam. Sehingga muncul pertanyaan apakah politik Islam itu ada? Apakah Islam punya konsep khusus tentang politik yang berbeda dengan konsep politik pada umumnya? Sampai batasan tertentu, Islam memang memiliki konsep yang khas tentang politik. Akan tetapi, tentu saja Islam tetap terbuka terhadap berbagai konsep politik yang senantiasa muncul untuk kemudian bisa melengkapi konsep yang sudah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan konsep Islam yang sudah ada.
Sifat terbuka Islam dalam masalah politik ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa Islam tidaklah menetapkan konsep politiknya secara amat rinci. Dalam hal ini, Islam memang harus memiliki corak politik. Akan tetapi, politik bukanlah satu-satunya corak yang dimiliki oleh Islam. Sebab jika Islam hanya bercorak politik tanpa ada corak Iain yang seharusnya ada, maka Islam yang demikian ialah Islam yang parsial.
Munculnya varian-varian Islam dengan corak politik yang amat kuat pada dasarnya didorong oleh kelemahan atau bahkan keterpurukan politik umat Islam saat ini. Karena kondisi sedemikian ini, politik kemudian menjadi salah satu tugas panting umat Islam, untuk bisa bangkit dari kemunduran agar terhindar dari komoditas politik pragmatis.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan.
Termasuk juga persoalan keseharian manusia, dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama cenderung digunakan untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Orientasi utama politik Islam terkait dengan masalah kekuasaan yaitu tegaknya hukum-hukum Allah dimuka bumi, hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan tertinggi ialah kekuasaan Allah. Sementara, manusia pada dasarnya sama sekali tidak memlliki kekuasaan. Bahkan Islam menentang adanya penguasaan Absolut seorang manusia atas manusia yang lain. Wallahu A’lam.
ABA ARMADA, Tgk. Aguswandi Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN di sela-sela konsultasi politik dengan beberapa ulama nasional mengatakan “Dalam sejarah Islam bahwa kepemimpinan Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan khulafa al-Rasyidun, seorang kholifah selain berperan sebagai pemimpin negara, juga pemimpin spiritual (agama). Selain itu, mengeluarkan kebijakan terkait persoalan-persoalan negara dan rakyat, juga mengeluarkan fatwa-fatwa hukum terkait berbagai persoalan agama yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan kholifah mempunyai peran dan fungsi ganda, yaitu pemimpin agama juga pemimpin negara.
Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam periode sahabat ini sangat banyak kebijakan kholifah yang bersentuhan dengan permasalahan agama. Sebagai contoh dibukukannya Al-Qur’an, penetapan kalender hijriyah sebagai penanggalan Islam, perluasan daerah kekuasaan Islam ke beberapa negara di luar Jazerah Arab, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan betapa kholifah memiliki perhatian yang sangat kuat terhadap dinamika keagamaan. Dalam sistem kekholifahan ini juga ditemukan beberapa pergolakan politik. Tidak jarang pergolakan politik tersebut sampai harus menimbulkan korban jiwa. Hal ini mengindikasikan betapa situasi politik juga turut mempengaruhi dinamika sejarah umat Islam. Kholifah dituntut mampu melayani masyarakat sebagai warga negara maupun sebagai umat Islam. Dua hal ini senantiasa ada dalam diri kholifah.
Berakhirnya kekuasaan khulafa al-Rasyidun ditandai berakhirnya kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib (w. 40 H) terjadi perubahan pola kepemimpinan yang signifikan. Kepemimpinan Islam mulai dibangun berdasarkan dinasti atau kerajaan, di mana pola peralihan kepemimpinan berlangsung berdasarkan silsilah atau keturusan raja. Selain itu, perubahan sistem ini berakibat pada berkurang bahkan hilangnya peran dwi fungsi kholifah sebagai pemimpin negara sekaligus pemimpin agama. Di sana terjadi pemisahan antara pemegang kebijakan untuk mengurus negara dan menjadi pemecah untuk urusan agama. Peran sebagai pemimpin negara dipegang oleh kholifah, sedangkan peran pemimpin agama dipegang oleh ulama.
Pemisahan peran tersebut akan sangat memungkinkan terjadinya persinggungan kebijakan di antara keduanya. Fatwa ulama bisa jadi tidak selaras dengan kebijakan umara (penguasa). Sebaliknya perilaku dan kebijakan umara bisa jadi bertolak belakang dengan syari’ah disebabkan karena tidak adanya kekuatan pengontrol. Dalam kondisi yang demikian, bisa saja perilaku raja atau keluarga raja yang bersinggungan dengan kepentingan umum masyarkat.
Dalam posisi semacam ini, sikap dan peran ulama akan terbagi dalam beberapa posisi. Ada ulama yang terlibat dalam wilayah politik, ada juga konsisten tidak ingin terlibat dalam politik bahkan antipati dengan politik dan ada pula yang mengambil posisi diam. Sikap tersebut merupakan sikap individu yang tidak dapat diintervensi orang lain. Ulama memiliki peranan yang besar dalam mengontrol keadaan sosial keagamaan dalam kehidupan riil masyarakat. Mereka bisa saja secara memberikan masukan kepada pemerintah bahkan menentang kebijakan umara apabila dia melakukan kedhaliman. Tidak jarang, ada ulama yang secara tegas berdiri di belakang umara walaupun tahu bahwa terdapat sisi kedhaliman dalam diri sang umara. Ulama bertindak sebagai pengikut sekaligus pabrik fatwa guna menjustifikasi aksi politik dan kebijakan umara yang tidak jarang bertentangan dengan syara’ dan nalar sehat manusia.
Pada masa kerajaan Islam di nusantara, para ulama mempunyai peranan yang besar dalam pemerintahan. Ulama Islam nusantara mempunyai andil besar dalam pergerakan politik nusantara. Dalam sejarah Islam nusantara, ulama yang sangat terkenal adalah Wali Songo. Selain menyiarkan ajaran agama Islam, Wali Songo berperan penting dalam kehidupan kenegaraan dan pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara. Dalam perannya tersebut, terdapat pula peran dalam bidang politik. Namun demikian, pada umumnya kita memahami bahwa peranan wali songo adalah hanya sebagai penyebar ajaran Islam, utamanya di tanah Jawa.
Ulama yang berperan dalam politik memiliki signifikasi dalam wilayah politik. Hal ini penting untuk menjadi pembicaraan, karena keterlibatannya bisa memberikan kontribusi positif sekaligus ada efek negatifnya. Berikut ini beberapa pendapat ulama yang menggambarkan posisi politik dalam Islam. Syeikh Yusuf al-Qaradhawi bahwa Islam bukan melulu aqidah, teologis atau syiar peribadatan. Islam bukan juga semata-mata agama yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan-Nya saja dan tidak bersangkut paut dengan pengaturan hidup dan pengarahan tata kemasyarakatan dan negara. Islam adalah aqidah dan ibadah, akhlak dan syariat yang lengkap.
Dengan kata lain, Islam merupakan tatanan yang sempurna bagi kehidupan individu, urusan keluarga, tata kemasyarakatan, prinsip pemerintahan dan hubungan internasional. Dalam bagian ibadah dalam fiqih itupun tidak lepas dari politik. Islam memiliki kaidah, hukum dan pengarahan dalam politik pendidikan, politik informasi, politik perundang-undangan, politik hukum, politik kehartabendaan, politik perdamaian, politik peperangan dan segala sesuatu yang berpengaruh terhadap kehidupan. Maka tidak bisa diterima kalau Islam dianggap nihil dan pasif bahkan menjadi pelayan bagi filsafat atau ideologi lain. Islam tidak mau kecuali menjadi tuan, panglima, komandan, diikuti dan dilayani.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa teori kekuatan adalah suatu teori yang mengatakan kekuasaan politik diperoleh melalui persaingan antar kelompok. Negara dibentuk oleh pihak yang menang dan kekuatanlah yang membentuk kekuasaan dan pembuat hukum. Menurut Ibnu Kholdun, masyarakat/manusia memerlukan pemimpin (al-wali) untuk melaksanakan kekuasaan dan memperbaiki kehidupan masyarakat dan mencegah perbuatan aniaya diantara sesama. Al-wali diikuti karena memiliki kekuatan dan pengaruh atas masyarakatnya. Hubungan sosial masyarakatnya berdasarkan hubungan keturunan atau pertemanan yang disebutnya Ashabiyyat sebagai pola perekat kekuatan kelompok itu. Dengan demikian satu Daulah, dapat terbentuk apabila suatu kelompok masyarakat mampu mengalahkan kelompok masyarakat lainnya.
Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Siyasah Syar’iyyah menjelaskan mengurusi dan melayani kepentingan manusia merupakan kewajiban terbesar agama dimana agama dan dunia tidak bisa tegak tanpanya. Sungguh bani Adam tidak akan lengkap kemaslahatannya dalam agama tanpa adanya jamaah dan tidak ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan.
Nabi mewajibkan umatnya mengangkat pemimpin bahkan dalam kelompok kecil sekalipun. Hal ini diperlukan dalam rangka melakukan amar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan, menunaikan haji, mengumpulkan zakat, mengadakan sholat Ied, menolong orang yang dizalimi, dan menerapkan hukum hudud. Tanpa ada pemimpin, maka dimungkinkan akan terjadi masalah dalam perjalananya.
Ibnu Taimiyah sebagaimana disebutkan dalam buku Masalah-masalah Teori Politik Islam menegaskan bahwa kekuasaan merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi dengan baik. Penguasa harus mengurusi rakyatnya seperti yang dilakukan pengembala yang dilakukan kepada gembalaanya. Penguasa disewa rakyatnya agar bekarja untuk kepentingan meraka, kewajiban timbal balik kepada kedua belah pihak menjadikan perjanjian dalam bentuk kemitraan.
Hubungan antara agama dengan kekuasaan politik dengan ungkapan yang sangat nyata. sultan yang berarti kekuasaan politik adalah wajib untuk ketertiban dunia, ketertiban dunia wajib untuk ketertiban agama, ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya diutusnya para Rasul. Jadi wajib adanya imam merupakan kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya.
Islam bukanlah semata-mata agama (a religion) namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis berusaha memisahkan kedua sisi itu. Namun pada hakekatnya seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas pundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dari beberapa pemikiran di atas, dapat diketahui bahwa bahwa Allah tidak mungkin meninggalkan ciptaan-Nya berjalan tanpa keteraturan. Di sinilah, diperlukan peran pemimpin yang berusaha menegakkan hukum agar pelanggaran dapat terhindarkan serta masyarakat mendapat petunjuk yang benar.
Untuk mencapai tujuan itu, pemimpin haruslah mempunyai beberapa sifat utama, diantaranya al-‘ilm (berpengetahuan), al-taqwā (ketakwaan), al-warā’ (kesalehan) dan al-fathonah (kecerdasan). Selain itu, ia juga memaparkan bahwa pemimpin hendaknya dipilih oleh ahlul-‘aqdi (semacam DPR atau MPR) sebagai wakil dari masyarakat yang mempunyai kelebihan dan keutamaan sifat di tengah-tengah masyarakat lainnya. Pemimpin dipilih dengan tujuan untuk menjaga manusia dari kezaliman manusia lainya. Dengan kata lain, pemimpin dipilih untuk menegakkan setiap hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat. Pemimpin harus selalu berbuat adil di antara manusia dan menghindarkan diri dari tirani dan pengrusakan. Jika seorang pemimpin memiliki sifat adil, maka wajib bagi rakyat untuk mengikuti dan mentaatinya.
Seorang pemimpin harus mempunyai peran sentral sekaligus menjadi panutan bagi masyarakatnya. Pemimpin memiliki hak, wewenang dan juga kewajiban untuk memutuskan berbagai perkara dan permasalahan yang bersentuhan dengan masyarakat. Keadilan dan perhatiannya terhadap masyarakat akan menjadikan wilayah yang ada dibawah kepemimpinannya menjadi wilayah yang baik dan sejahtera.
Pemikiran Ibn Taimiyah menekankan pembahasannya pada pentingnya sifat amanah bagi seorang pemimpin. Sifat amanah merupakan dasar utama dalam kepemimpinan disamping adanya kekuatan yang mumpuni dalam dirinya. Pemimpin yang amanah akan memilih para menteri, hakim dan pembantu lainnya yang amanah pula. Dalam hal ini, Ibn Taimiyah menitikberatkan pada perlunya kepandaian pemimpin dalam memilih para pembantunya. Beliau juga mengingatkan bahwa kepemimpinan bukanlah bertujuan untuk mengumpulkan harta atau menjadi seorang pemimpin yan terkenal, melainkan untuk agama dan pendekatan diri kepada Allah.
Sedangkan Al-Ghazali menekankan pentingnya sifat kesalehan, kepantasan dan keadilan bagi seorang pemimpin. Hal ini menjadi penting karena tugas pemimpin adalah untuk menjaga ketertiban dunia. Sedangkan ketertiban dunia bisa direalisasikan dengan melaksanakan ketertiban agama. Selanjutnya hadirnya ketertiban agama akan menjadi landasan keberhasilan di akhirat kelak.
Urgensi peran ulama dalam politik merupakan perbincangan yang sangat menarik menjadi perbincangan. Peran ulama dalam lingkungan politik akan memberikan warna yang baik bagi agama. Adanya ulama dalam politik bisa menjadi berperan memberikan nasehat, saran dan masukan yang sangat diperlukan oleh pemimpin. Kelompok berpendapat bahwa sebaiknya ulama tidak terjun langsung dalam arena politik memberikan argumentasi dalam rangka menjaga netralitas ulama sebagai pengawal syariat Islam. Mereka bisa menjadi penasehat para pemimpin (mulūk) dalam berbagai macam permasalahan, Hal ini menunjukkan bahwa betapa ulama mempunyai peran yang sangat strategis sebagai penasehat pemimpin agar tidak menyimpang dari syariat Islam dan dalam menjalankan amanah rakyatnya.
Peran strategis lainnya adalah untuk memperkuat atau meningkatkan hak-hak dan atau kepentingan umat Islam dalam masyarakat. Manakala medan politik sudah banyak diisi oleh orang-orang yang tidak berpihak terhadap Islam, maka sangat dimungkinkan peran, fungsi dan hak-hak umat Islam akan diabaikan. Suatu yang tidak dapat dipungkiri bahwa politik memainkan peranan yang sangat urgen dalam negara dan pemerintahan. Peran strategis ini apabila tidak diisi oleh para ulama, bisa diisi oleh orang-orang non muslim. Sebagai akibatnya, bisa jadi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan adalah kebijakan yang tidak berpihak untuk Islam dan umat Islam.
Namun demikian, perlu juga menjadi pertimbangan bahwa kehadiran ulama (tokoh agama) dalam wilayah politik bisa memberikan efek negatif. Di antara efek negatif itu adalah munculnya beberapa oknum ulama yang memanfaatkan agama maupun ayat-ayat Allah sebagai modal politiknya. Lebih menyakitkan lagi, jika kehadiran ulama yang dengan sengaja bisa melakukan segala cara untuk mencapai tujuan. Hal ini tentu akan memunculkan masalah yang sangat serius dalam masyarakat. Sebagai contoh betapa kehadiran ulama dalam politik di Timur Tengah telah menjadi penyumbang terjadinya pertikaian berkepanjangan dalam negara.
Posisi semacam menjadi hilangnya sisi idealitas penyambung lidah Nabi Muhammad SAW. Ulama diperlukan untuk mampu menjaga netralitas ulama sehingga setiap kata, ucapan dan perbuatannya hanya untuk menegakkan kebenaran dimana pun berada dan kapan pun. Mereka tidak disibukkan dengan urusan membela partai A atau B, tidak pula mendukung kelompok dan suku C dan D. Bagi mereka, membela kebenaran adalah tujuan yang paling utama tanpa melihat siapa yang dibela dan apa yang akan didapatkan. Bahkan, kebenaran tersebut disampaikannya pula di depan pemimpin yang menyimpang sebab itulah seutama-utamanya jihad, terutama bagi para ulama.
Di samping memberikan saran dan nasehat kepada pemimpin, para ulama diperlukan untuk aktif ikut dalam perbaikan masyarakat luas. Hal ini disebabkan biasanya ulama dekat dengan masyarakat karena masyarakat selalu merindukan kehadirannya. Mendidik juga berarti memperbaiki akhlāq masyarakat, mengingatkan pentingnya kepedulian mereka terhadap agama dan memberikan perhatian terhadap segala permasalahan yang menimpa mereka. Dengan berperan aktif dalam masyarakat, ulama sudah mengambil posisi strategis dalam berpolitik dalam sebuah negara. Keaktifan tersebut bisa menjadi senjata ampuh bagi ulama untuk mengubah jalannya pemerintahan yang masih terdapat banyak kekurangan dan penyimpangan.
Sesuatu yang perlu menjdi perhatian para ulama adalah karena sulitnya menghindarkan diri praktek-praktek kecurangan dalam arena politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam politik seringkali sangat sulit menghindarkan diri dari realitas prakmatisme sebuah kepentingan. Sementara kepentingan pragmatis terkadang tidak lagi mempedulikan urusan halal atau haram, baik atau buruk, benar atau salah. Semuanya terfokus pada keberhasilan kepentingan pribadi dan golongan. Hal inilah yang seringkali menyebabkan hilangnya sisi idealitas seorang ulama.
Sesuatu yang banyak dijumpai dalam masyarakat politik adalah terjadinya perubahan sikap dan perilaku seorang ulama antara sebelum dan sesudah masuk dalam wilayah politik. Sebelum masuk dalam politik praktis, dia mempunyai sisi idealitas keagamaan yang tinggi, keberpihakan terhadap agama sangat kuat, dan lain sebagainya. Namun setelah masuk dalam politik, bisa berubah 180 derajat, misalnya keberpihakan terhadap Islam semakin kecil bahkan cenderung hilang, idealitas keberagaman tidak muncul.
Untuk itulah seorang ulama hendak mampu menghindari diri dari perilaku-perilaku yang dapat merusak marwah Islam. Jika tidak demikian, maka akan menampakkan Islam sebagai ajaran yang menakutkan. Terlebih lagi jika seorang ulama diidentikkan dengan orang gemar mengumbar kemarahan dan kebencian, merasa paling benar, suka memecah belah umat, dan lain sebagainya.
Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN pada “kajian teropong politik ulama dan Aceh mendatang” mengatakan “Ciri Ulama orang yang berilmu atau orang yang memiliki pengetahuan, pandai pengetahuan agama Islam, menguasai segala hukum syara` untuk menetapkan sah iktikad maupun amal syariah, memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah SWT. Sejarah mencatat adanya kontribusi besar para ulama berlatar belakang pesantren, dalam mengeliminir pengaruh politik komunis (PKI= Partai Komunis Indonesia) bergerak sporadis di penghujung kekuasaan Bung Karno.
Dinamika politik Orde Lama membungkam suara ulama yang dianggap kontra revolusi oleh Soekarno, yang selanjutnya Orde Baru Soeharto secara sistematis juga memarginalkan peran para ulama. Mereka dipinggirkan karena ketidakpahaman dan ketakutan yang berlebihan pihak penguasa terhadap gerakan politik ulama. Kehangatan hubungan antara ulama dengan politik menampakkan dinamika yang menarik khususnya jika kita memotretnya di era pasca-kemerdekaan. Proses persiapan kemerdekaan NKRI yang intens menyertakan peran besar para ulama dilanjutkan di masa setelah kemerdekaan. Para ulama telah mengukir sejarah efektifitas peran politiknya yang membanggakan di kancah politik nasional era Orde Lama.
Hal ini terbukti bahwa kekuatan politik ulama bukan hanya berhasil menjadi kekuatan politik penyeimbang yang memadai atas gempuran golongan komunis, namun juga eksistensinya diakui dengan dibentuknya kementerian penghubung antara pesantren dan politik.
Eksistensi keindonesiaan memang menghadapi sederet tantangan serius, misalnya pesantren dan ulama yang dicurigai dengan gerakan radikal. Dengan modal sejarah yang gemilang memperjuangkan kemerdekaan, pesantren idealnya bisa berbuat banyak untuk turut membantu penyelesaian berbagai masalah kebangsaan.
Sayangnya, para ustadh pesantren belakangan marak terlibat dalam politik praktis tidak banyak yang memiliki visi kebangsaan seperti para pendahulunya. Bangsa ini memang menaruh harapan besarnya kepada para ulama, santri dan alumninya di masa datang dapat memainkan peran kebangsaan dan keummatan sebagaimana yang dilakukan para pendahulunya dalam dakwah politik menegakan keislaman dan keindonesiaan.
Pengertian siyasah / politik Islam adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasullah tidak menetapkannya dan bahkan Allah tidak menentukanya. Dalam redaksi lain, politik merupakan tindakan atau perbuatan yang dengannya seseorang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan, selama politik tersebut tidak bertentangan dengan syara’.
Ilmu politik adalah ilmu yang mengetahui tentang macam-macam kekuasaan, perpolitikan sosial dan sipil, keadaan-keadaannya, seperti keadaan para penguasa, raja-raja, pemimpin, hakim, ulama, ekonom, penanggung jawab baitul mal dan yang lainnya. Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa politik adalah berbagai macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari system itu dan melaksanakan tujuan itu. Untuk melaksanakan tujuan–tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi dari sumber–sumber dan resources yang ada.
Islam adalah agama yang mengikat segala sesuatunya dengan aturan agama, begitu pula di dalam urusan politik ini. Islam tidak mengenal adanya penghalalan segala cara untuk mencapai suatu tujuan, meskipun tujuan itu mulia. Islam tidak hanya melihat hasil tetapi juga proses untuk mendapatkan hasil. Oleh karena itu di dalam berpolitik pun seorang politisi maupun pemimpin Islam diharuskan berpegang dengan rambu-rambu syariah dan akhlak mulia. Dengan kata lain bahwa segala cara berpolitik yang bertentangan dengan syariah atau melanggar norma-norma agama dan akhlak Islam maka ia dilarang.
Dalam teori ketuhanan, keislaman dan kekuasaan berasal dari Tuhan, penguasa bertahta atas kehendak Tuhan sebagai pemberi kekuasaan kepadanya. Maknanya ialah bahwa Allah mengangkat penguasa-penguasa bagi masyarakat. Penguasa-penguasa itu mendapat pancaran Ilahi dan menetapkan mereka dengan karunia-Nya.
Dengan demikian, sumber kekuasaan kepala Negara bukan berasal dari rakyat, melainkan datang dari Allah kepada sejumlah kecil orang pilihan. Hal ini dikuatkan dengan QS. Ali Ilmran :26 berbunyi: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Siyasah secara Syar’iyah adalah pengaturan urusan pemerintahan kaum Muslimin secara menyeluruh dengan cara mewujudkan maslahat, mencegah terjadinya kerusakan (mafsadat) melalui batasan-batasan yang ditetapkan syara’ dan prinsip-prinsip umum Syariah (maqosidhus syari’ah) kendati hal itu tidak ada dalam ketetapan nash dan hanya menyandarkan pendapat para imam mujtahid.
Ada tiga pandangan terkait politik ; Pertama, mengaitkan politik dengan urusan kenegaraan yakni dengan urusan pemerintahan. Kedua, mengaitkan politik dengan segenap masalah yang bersentuhan dengan kekuasaan, otoritas dan atau dengan konflik berikut segenap fenomena yang menyertainya. Ketiga, tata aturan yang digunakan suatu bangsa dalam menjaga eksistensi bangsa dan membangun kesejahteraan rakyatnya.
Ruang lingkup politik Islam (siyasah syar’iyyah) setidaknya mencakup tiga isu utama, yakni: • Paradigma dan konsep politik dalam Islam, yang secara garis besar mencakup kewajiban mewujudkan kepemimpinan Islami (khalifah) dan kewajiban menjalankan Syariah Islam. • Regulasi dan ketetapan hukum yang dibuat oleh pemimpin atau imam dalam rangka menangkal dan membasmi kerusakan serta memecahkan masalah-masalah yang bersifat spesifik, yang masuk dalam pembahasan fiqh siyasah. • Partisipasi aktif setiap Muslim dalam aktivitas politik baik dalam rangka mendukung maupun mengawasi kekuasaan.