ABA ARMADA, Tgk. Aguswandi Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN di sela-sela konsultasi politik dengan beberapa ulama nasional mengatakan “Dalam sejarah Islam bahwa kepemimpinan Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan khulafa al-Rasyidun, seorang kholifah selain berperan sebagai pemimpin negara, juga pemimpin spiritual (agama). Selain itu, mengeluarkan kebijakan terkait persoalan-persoalan negara dan rakyat, juga mengeluarkan fatwa-fatwa hukum terkait berbagai persoalan agama yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan kholifah mempunyai peran dan fungsi ganda, yaitu pemimpin agama juga pemimpin negara.
Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam periode sahabat ini sangat banyak kebijakan kholifah yang bersentuhan dengan permasalahan agama. Sebagai contoh dibukukannya Al-Qur’an, penetapan kalender hijriyah sebagai penanggalan Islam, perluasan daerah kekuasaan Islam ke beberapa negara di luar Jazerah Arab, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan betapa kholifah memiliki perhatian yang sangat kuat terhadap dinamika keagamaan. Dalam sistem kekholifahan ini juga ditemukan beberapa pergolakan politik. Tidak jarang pergolakan politik tersebut sampai harus menimbulkan korban jiwa. Hal ini mengindikasikan betapa situasi politik juga turut mempengaruhi dinamika sejarah umat Islam. Kholifah dituntut mampu melayani masyarakat sebagai warga negara maupun sebagai umat Islam. Dua hal ini senantiasa ada dalam diri kholifah.
Berakhirnya kekuasaan khulafa al-Rasyidun ditandai berakhirnya kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib (w. 40 H) terjadi perubahan pola kepemimpinan yang signifikan. Kepemimpinan Islam mulai dibangun berdasarkan dinasti atau kerajaan, di mana pola peralihan kepemimpinan berlangsung berdasarkan silsilah atau keturusan raja. Selain itu, perubahan sistem ini berakibat pada berkurang bahkan hilangnya peran dwi fungsi kholifah sebagai pemimpin negara sekaligus pemimpin agama. Di sana terjadi pemisahan antara pemegang kebijakan untuk mengurus negara dan menjadi pemecah untuk urusan agama. Peran sebagai pemimpin negara dipegang oleh kholifah, sedangkan peran pemimpin agama dipegang oleh ulama.
Pemisahan peran tersebut akan sangat memungkinkan terjadinya persinggungan kebijakan di antara keduanya. Fatwa ulama bisa jadi tidak selaras dengan kebijakan umara (penguasa). Sebaliknya perilaku dan kebijakan umara bisa jadi bertolak belakang dengan syari’ah disebabkan karena tidak adanya kekuatan pengontrol. Dalam kondisi yang demikian, bisa saja perilaku raja atau keluarga raja yang bersinggungan dengan kepentingan umum masyarkat.
Dalam posisi semacam ini, sikap dan peran ulama akan terbagi dalam beberapa posisi. Ada ulama yang terlibat dalam wilayah politik, ada juga konsisten tidak ingin terlibat dalam politik bahkan antipati dengan politik dan ada pula yang mengambil posisi diam. Sikap tersebut merupakan sikap individu yang tidak dapat diintervensi orang lain. Ulama memiliki peranan yang besar dalam mengontrol keadaan sosial keagamaan dalam kehidupan riil masyarakat. Mereka bisa saja secara memberikan masukan kepada pemerintah bahkan menentang kebijakan umara apabila dia melakukan kedhaliman. Tidak jarang, ada ulama yang secara tegas berdiri di belakang umara walaupun tahu bahwa terdapat sisi kedhaliman dalam diri sang umara. Ulama bertindak sebagai pengikut sekaligus pabrik fatwa guna menjustifikasi aksi politik dan kebijakan umara yang tidak jarang bertentangan dengan syara’ dan nalar sehat manusia.
Pada masa kerajaan Islam di nusantara, para ulama mempunyai peranan yang besar dalam pemerintahan. Ulama Islam nusantara mempunyai andil besar dalam pergerakan politik nusantara. Dalam sejarah Islam nusantara, ulama yang sangat terkenal adalah Wali Songo. Selain menyiarkan ajaran agama Islam, Wali Songo berperan penting dalam kehidupan kenegaraan dan pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara. Dalam perannya tersebut, terdapat pula peran dalam bidang politik. Namun demikian, pada umumnya kita memahami bahwa peranan wali songo adalah hanya sebagai penyebar ajaran Islam, utamanya di tanah Jawa.
Ulama yang berperan dalam politik memiliki signifikasi dalam wilayah politik. Hal ini penting untuk menjadi pembicaraan, karena keterlibatannya bisa memberikan kontribusi positif sekaligus ada efek negatifnya. Berikut ini beberapa pendapat ulama yang menggambarkan posisi politik dalam Islam. Syeikh Yusuf al-Qaradhawi bahwa Islam bukan melulu aqidah, teologis atau syiar peribadatan. Islam bukan juga semata-mata agama yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan-Nya saja dan tidak bersangkut paut dengan pengaturan hidup dan pengarahan tata kemasyarakatan dan negara. Islam adalah aqidah dan ibadah, akhlak dan syariat yang lengkap.
Dengan kata lain, Islam merupakan tatanan yang sempurna bagi kehidupan individu, urusan keluarga, tata kemasyarakatan, prinsip pemerintahan dan hubungan internasional. Dalam bagian ibadah dalam fiqih itupun tidak lepas dari politik. Islam memiliki kaidah, hukum dan pengarahan dalam politik pendidikan, politik informasi, politik perundang-undangan, politik hukum, politik kehartabendaan, politik perdamaian, politik peperangan dan segala sesuatu yang berpengaruh terhadap kehidupan. Maka tidak bisa diterima kalau Islam dianggap nihil dan pasif bahkan menjadi pelayan bagi filsafat atau ideologi lain. Islam tidak mau kecuali menjadi tuan, panglima, komandan, diikuti dan dilayani.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa teori kekuatan adalah suatu teori yang mengatakan kekuasaan politik diperoleh melalui persaingan antar kelompok. Negara dibentuk oleh pihak yang menang dan kekuatanlah yang membentuk kekuasaan dan pembuat hukum. Menurut Ibnu Kholdun, masyarakat/manusia memerlukan pemimpin (al-wali) untuk melaksanakan kekuasaan dan memperbaiki kehidupan masyarakat dan mencegah perbuatan aniaya diantara sesama. Al-wali diikuti karena memiliki kekuatan dan pengaruh atas masyarakatnya. Hubungan sosial masyarakatnya berdasarkan hubungan keturunan atau pertemanan yang disebutnya Ashabiyyat sebagai pola perekat kekuatan kelompok itu. Dengan demikian satu Daulah, dapat terbentuk apabila suatu kelompok masyarakat mampu mengalahkan kelompok masyarakat lainnya.
Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Siyasah Syar’iyyah menjelaskan mengurusi dan melayani kepentingan manusia merupakan kewajiban terbesar agama dimana agama dan dunia tidak bisa tegak tanpanya. Sungguh bani Adam tidak akan lengkap kemaslahatannya dalam agama tanpa adanya jamaah dan tidak ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan.
Nabi mewajibkan umatnya mengangkat pemimpin bahkan dalam kelompok kecil sekalipun. Hal ini diperlukan dalam rangka melakukan amar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan, menunaikan haji, mengumpulkan zakat, mengadakan sholat Ied, menolong orang yang dizalimi, dan menerapkan hukum hudud. Tanpa ada pemimpin, maka dimungkinkan akan terjadi masalah dalam perjalananya.
Ibnu Taimiyah sebagaimana disebutkan dalam buku Masalah-masalah Teori Politik Islam menegaskan bahwa kekuasaan merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi dengan baik. Penguasa harus mengurusi rakyatnya seperti yang dilakukan pengembala yang dilakukan kepada gembalaanya. Penguasa disewa rakyatnya agar bekarja untuk kepentingan meraka, kewajiban timbal balik kepada kedua belah pihak menjadikan perjanjian dalam bentuk kemitraan.
Hubungan antara agama dengan kekuasaan politik dengan ungkapan yang sangat nyata. sultan yang berarti kekuasaan politik adalah wajib untuk ketertiban dunia, ketertiban dunia wajib untuk ketertiban agama, ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya diutusnya para Rasul. Jadi wajib adanya imam merupakan kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya.
Islam bukanlah semata-mata agama (a religion) namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis berusaha memisahkan kedua sisi itu. Namun pada hakekatnya seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas pundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dari beberapa pemikiran di atas, dapat diketahui bahwa bahwa Allah tidak mungkin meninggalkan ciptaan-Nya berjalan tanpa keteraturan. Di sinilah, diperlukan peran pemimpin yang berusaha menegakkan hukum agar pelanggaran dapat terhindarkan serta masyarakat mendapat petunjuk yang benar.
Untuk mencapai tujuan itu, pemimpin haruslah mempunyai beberapa sifat utama, diantaranya al-‘ilm (berpengetahuan), al-taqwā (ketakwaan), al-warā’ (kesalehan) dan al-fathonah (kecerdasan). Selain itu, ia juga memaparkan bahwa pemimpin hendaknya dipilih oleh ahlul-‘aqdi (semacam DPR atau MPR) sebagai wakil dari masyarakat yang mempunyai kelebihan dan keutamaan sifat di tengah-tengah masyarakat lainnya. Pemimpin dipilih dengan tujuan untuk menjaga manusia dari kezaliman manusia lainya. Dengan kata lain, pemimpin dipilih untuk menegakkan setiap hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat. Pemimpin harus selalu berbuat adil di antara manusia dan menghindarkan diri dari tirani dan pengrusakan. Jika seorang pemimpin memiliki sifat adil, maka wajib bagi rakyat untuk mengikuti dan mentaatinya.
Seorang pemimpin harus mempunyai peran sentral sekaligus menjadi panutan bagi masyarakatnya. Pemimpin memiliki hak, wewenang dan juga kewajiban untuk memutuskan berbagai perkara dan permasalahan yang bersentuhan dengan masyarakat. Keadilan dan perhatiannya terhadap masyarakat akan menjadikan wilayah yang ada dibawah kepemimpinannya menjadi wilayah yang baik dan sejahtera.
Pemikiran Ibn Taimiyah menekankan pembahasannya pada pentingnya sifat amanah bagi seorang pemimpin. Sifat amanah merupakan dasar utama dalam kepemimpinan disamping adanya kekuatan yang mumpuni dalam dirinya. Pemimpin yang amanah akan memilih para menteri, hakim dan pembantu lainnya yang amanah pula. Dalam hal ini, Ibn Taimiyah menitikberatkan pada perlunya kepandaian pemimpin dalam memilih para pembantunya. Beliau juga mengingatkan bahwa kepemimpinan bukanlah bertujuan untuk mengumpulkan harta atau menjadi seorang pemimpin yan terkenal, melainkan untuk agama dan pendekatan diri kepada Allah.
Sedangkan Al-Ghazali menekankan pentingnya sifat kesalehan, kepantasan dan keadilan bagi seorang pemimpin. Hal ini menjadi penting karena tugas pemimpin adalah untuk menjaga ketertiban dunia. Sedangkan ketertiban dunia bisa direalisasikan dengan melaksanakan ketertiban agama. Selanjutnya hadirnya ketertiban agama akan menjadi landasan keberhasilan di akhirat kelak.
Urgensi peran ulama dalam politik merupakan perbincangan yang sangat menarik menjadi perbincangan. Peran ulama dalam lingkungan politik akan memberikan warna yang baik bagi agama. Adanya ulama dalam politik bisa menjadi berperan memberikan nasehat, saran dan masukan yang sangat diperlukan oleh pemimpin. Kelompok berpendapat bahwa sebaiknya ulama tidak terjun langsung dalam arena politik memberikan argumentasi dalam rangka menjaga netralitas ulama sebagai pengawal syariat Islam. Mereka bisa menjadi penasehat para pemimpin (mulūk) dalam berbagai macam permasalahan, Hal ini menunjukkan bahwa betapa ulama mempunyai peran yang sangat strategis sebagai penasehat pemimpin agar tidak menyimpang dari syariat Islam dan dalam menjalankan amanah rakyatnya.
Peran strategis lainnya adalah untuk memperkuat atau meningkatkan hak-hak dan atau kepentingan umat Islam dalam masyarakat. Manakala medan politik sudah banyak diisi oleh orang-orang yang tidak berpihak terhadap Islam, maka sangat dimungkinkan peran, fungsi dan hak-hak umat Islam akan diabaikan. Suatu yang tidak dapat dipungkiri bahwa politik memainkan peranan yang sangat urgen dalam negara dan pemerintahan. Peran strategis ini apabila tidak diisi oleh para ulama, bisa diisi oleh orang-orang non muslim. Sebagai akibatnya, bisa jadi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan adalah kebijakan yang tidak berpihak untuk Islam dan umat Islam.
Namun demikian, perlu juga menjadi pertimbangan bahwa kehadiran ulama (tokoh agama) dalam wilayah politik bisa memberikan efek negatif. Di antara efek negatif itu adalah munculnya beberapa oknum ulama yang memanfaatkan agama maupun ayat-ayat Allah sebagai modal politiknya. Lebih menyakitkan lagi, jika kehadiran ulama yang dengan sengaja bisa melakukan segala cara untuk mencapai tujuan. Hal ini tentu akan memunculkan masalah yang sangat serius dalam masyarakat. Sebagai contoh betapa kehadiran ulama dalam politik di Timur Tengah telah menjadi penyumbang terjadinya pertikaian berkepanjangan dalam negara.
Posisi semacam menjadi hilangnya sisi idealitas penyambung lidah Nabi Muhammad SAW. Ulama diperlukan untuk mampu menjaga netralitas ulama sehingga setiap kata, ucapan dan perbuatannya hanya untuk menegakkan kebenaran dimana pun berada dan kapan pun. Mereka tidak disibukkan dengan urusan membela partai A atau B, tidak pula mendukung kelompok dan suku C dan D. Bagi mereka, membela kebenaran adalah tujuan yang paling utama tanpa melihat siapa yang dibela dan apa yang akan didapatkan. Bahkan, kebenaran tersebut disampaikannya pula di depan pemimpin yang menyimpang sebab itulah seutama-utamanya jihad, terutama bagi para ulama.
Di samping memberikan saran dan nasehat kepada pemimpin, para ulama diperlukan untuk aktif ikut dalam perbaikan masyarakat luas. Hal ini disebabkan biasanya ulama dekat dengan masyarakat karena masyarakat selalu merindukan kehadirannya. Mendidik juga berarti memperbaiki akhlāq masyarakat, mengingatkan pentingnya kepedulian mereka terhadap agama dan memberikan perhatian terhadap segala permasalahan yang menimpa mereka. Dengan berperan aktif dalam masyarakat, ulama sudah mengambil posisi strategis dalam berpolitik dalam sebuah negara. Keaktifan tersebut bisa menjadi senjata ampuh bagi ulama untuk mengubah jalannya pemerintahan yang masih terdapat banyak kekurangan dan penyimpangan.
Sesuatu yang perlu menjdi perhatian para ulama adalah karena sulitnya menghindarkan diri praktek-praktek kecurangan dalam arena politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam politik seringkali sangat sulit menghindarkan diri dari realitas prakmatisme sebuah kepentingan. Sementara kepentingan pragmatis terkadang tidak lagi mempedulikan urusan halal atau haram, baik atau buruk, benar atau salah. Semuanya terfokus pada keberhasilan kepentingan pribadi dan golongan. Hal inilah yang seringkali menyebabkan hilangnya sisi idealitas seorang ulama.
Sesuatu yang banyak dijumpai dalam masyarakat politik adalah terjadinya perubahan sikap dan perilaku seorang ulama antara sebelum dan sesudah masuk dalam wilayah politik. Sebelum masuk dalam politik praktis, dia mempunyai sisi idealitas keagamaan yang tinggi, keberpihakan terhadap agama sangat kuat, dan lain sebagainya. Namun setelah masuk dalam politik, bisa berubah 180 derajat, misalnya keberpihakan terhadap Islam semakin kecil bahkan cenderung hilang, idealitas keberagaman tidak muncul.
Untuk itulah seorang ulama hendak mampu menghindari diri dari perilaku-perilaku yang dapat merusak marwah Islam. Jika tidak demikian, maka akan menampakkan Islam sebagai ajaran yang menakutkan. Terlebih lagi jika seorang ulama diidentikkan dengan orang gemar mengumbar kemarahan dan kebencian, merasa paling benar, suka memecah belah umat, dan lain sebagainya.
MEMILIH ABAI TERHADAP POLITIK, BIJAKKAH ?
ISLAM DAN POLITIK
MASJID SUCI, POLITIK KOTOR, JAUHKAN POLITIK DARI MASJID. BENARKAH ?
ISLAM MEMANGGILMU UNTUK BERPOLITIK
BERPOLITIK ADALAH BAGIAN DARI ISLAM YANG FARDHU KIFAYAH
https://politik.p2.blog/2023/02/13/saatnya-ulama-ikut-bertarung-dan-menentukan-arah-politik-ummat/
URGENSI BERPOLITIK BAGI UMAT ISLAM
BAGAIMANA ISLAM MEMANDANG POLITIK ?
“ULAMA TAK BOLEH BERPOLITIK” INI PENGKADALAN KITA OLEH BELANDA
https://politik.p2.blog/2023/02/12/ulama-hadir-ke-pentas-perpolitikan-salahkah/
URGENSI PERAN POLITIK ULAMA DALAM PERPOLITIKAN DUNIA
GENERASI MILENIAL JADI PENENTU KEHIDUPAN POLITIK YANG BERADAB
PENTINGNYA PENDIDIKAN POLITIK BAGI PENGUSAHA
PERBEDAAN ELEKTABILITAS DAN POPULARITAS DALAM POLITIK
TUJUAN SAFARI POLITIK
BERPOLITIK SEBAGAI SARANA MENYEMPURNAKAN PENGABDIAN KEPADA ALLAH
BERKAHNYA ULAMA YANG BERPOLITIK ADA MANFAATNYA
URGENSI PERAN ULAMA DALAM RANAH POLITIK
ULAMA – POLITIK – NAHI MUNKAR
ULAMA RABBI ITU JAUH DARI POLITIK, BENARKAH ?
MEMILIH PEMIMPIN & POLITIK UANG DALAM PANDANGAN ISLAM
POLA PENETAPAN KEBIJAKAN DALAM POLITIK ISLAM
ESENSI LARANGAN PEREMPUAN JADI PEMIMPIN DALAM ISLAM
PENTINGNYA POLITIK SEBAGAI ALAT DAKWAH
TUJUAN UTAMA DAKWAH POLITIK BUKAN UNTUK BERKUASA
PERAN POLITIK ULAMA
HARAKAH ISLAMIYYAH SEBAGAI PERGERAKAN REFORMIS LEWAT POLITIK
MENGAPA UMAT ISLAM MENGABAIKAN POLITIK ?
PEMUDA HARUS TERJUN KE RANAH POLITIK
https://politik.p2.blog/2022/12/18/politik-salah-satu-cara-penyebaran-islam-yang-ampuh/
Utk bisnis alat & perabot plastik klik web & halaman FB:
https://www.facebook.com/profile.php?id=100087413413813&mibextid=ZbWKwL
Utk bisnis full fashion klik web & halaman FB:
https://fb.me/konveksianekagrosir
Website pusat Armada :
Utk layanan Travel umrah mudah & murah klik :
Utk layanan segala jenis bibit unggas klik :
Utk layanan cetak-Sablon-Atk-Service, dll klik :
Utk gabung ke group WA Aneka bisnis center Armada klik :