Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua KOMPI-ACEH Melalui pidato politiknya mengatakan “Islam tidak eksis dengan individu-individu, melainkan dengan jama‘ah, dan setiap jama‘ah harus memiliki politik. Ad-Darimi meriwayatkan secara mauquf dari ‘Umar bin Khaththab ra bahwa ia berkata, “Islam tidak eksis kecuali dengan jama‘ah, jama‘ah tidak eksis kecuali dengan kepemimpinan, dan kepemimpinan tidak eksis kecuali dengan ketaatan yang dipimpin….” Inilah yang dinamakan politik.
“Islam tidak membedakan antara politik dan agama. Allah mengaitkan shalat yang merupakan kewajiban ritual dengan zakat yang merupakan ibadah finansial, dan dengan amar ma’ruf dan nahi munkar yang merupakan aktivitas politik. Allah berfirman, “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (al-Hajj : 41)
Aktivitas politik hukumnya fardhu kifayah. Apabila sebagian dari umat ini telah sanggup melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban bagi sebagian yang lain. Dan apabila tidak seorang pun yang menjalankannya, maka semua umat Islam berdosa. Lalu, apa tujuan aktivitas politik menurut Islam ? Ketika Rasulullah SAW wafat, maka para sahabat mulia mencurahkan perhatian untuk mengangkat pengganti beliau. Mereka sibuk mengurusi masalah ini hingga mengesampingkan pemakaman Rasulullah SAW. Apa makna di baliknya ?
Mereka tidak memakamkan Rasulullah SAW sampai Abu Bakar dibai’at, kemudian setelah itu barulah Rasulullah SAW dimakamkan. Ath-Thabari meriwayatkan: Sa’id bin Zaid, menyaksikan peristiwa wafat Rasulullah SAW dan menyaksikan bai`at Abu bakar Pada hari Rasulullah SAW wafat. Mereka tidak senang sekiranya mereka tidak dalam keadaan berpemimpin meskipun sebentar saja.” Dari sini kita memahami bahwa umat Islam tidak boleh berlama-lama dalam keadaan tanpa imam yang memimpin mereka dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Jadi, tujuan dari politik praktis hari ini adalah mengembalikan kekhalifahan Islam, dan ia akan kembali sebagaimana yang dijanjikan Rasulullah SAW.
Karena itu, “Selama hukum Islam belum eksis, maka berpolitik menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim. Keadaan yang tidak terkendali itu tidak bisa menegakkan hukum. Karena itu, adanya pemerintahan itu hukumnya wajib. Setiap sesuatu yang dibutuhkan umat Islam untuk mendirikan pemerintahan yang Islami itu juga hukumnya wajib. Semua upaya untuk mewujudkan itu inilah yang disebut politik. Berpolitik itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Hal itu dipahami dari firman Allah, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran : 104)
Ini adalah salah satu penafsiran ayat. Amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu bentuk dari aktivitas politik, dan itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Maksudnya, agar kalian semua menjadi umat yang mengajak kepada kebaikan. Seorang muslim tidak bisa lari dari kewajiban ini dengan ber’uzlah dan bersikap pasif. Setiap muslim wajib memerhatikan urusan-urusan umat Islam dan persoalan-persoalan politik mereka. Ia harus mempelajari problematika mereka dengan berbagai macam sebab dan jenisnya. Setiap orang yang berusaha untuk menyendiri dan lari dari permasalahan – permasalahan umat Islam dengan berdalih konsentrasi ibadah dan agama saja, maka dia itulah yang disebut mendustakan agama. Ini adalah cara beragama palsu yang ditentang Islam.
Saat menafsirkan ayat tentang orang yang mendustakan agama, Sayid Quthub mengatakan, “Agama ini bukan eksterior dan ritual semata. Ia tidak disebut agama selama tidak melahirkan dampak dalam hati yang mendorong untuk melakukan amal shalih dan termanifestasi dalam perilaku-perilaku yang membuat kehidupan manusia di bumi ini menjadi baik dan maju. Begitu pula, agama ini bukan terdiri dari bagian-bagian yang terpisah-pisah, dimana seseorang bisa mengerjakan bagian yang ingin dikerjakannya dan meninggalkan bagian yang ingin ditinggalkannya. Agama ini adalah manhaj yang komplementer, dimana ibadah dan ritualnya, serta tugas-tugas individual dan sosial bantu-membantu.”
Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN dalam tanggapan pertanyaan politikus mengatakan “Saya senang hati ketika melihat ulama-ulama Aceh bersilaturahmi dengan capres di Istana negara. Mengapa? Bukankah bahaya bila ulama berpolitik ? Bukankah umat bisa terbengkalai ? Dan masih banyak kontra ide dengan ulama berpolitik. Bagi saya malah sebaliknya, ulama harus berpolitik agar tidak dipolitisir.
Saya tetap bersikeras bahwa ulama wajib berpolitik. Secara historis maupun agama, tidak ada larangan ulama berpolitik bahkan sejarah mengatakan bahwa ulama memang mesti berpolitik. Secara yuridis siapapun yang memenuhi kualifikasi boleh berpolitik termasuk ulama. Secara sosiologis, ulama merupakan simbol massa dan untuk perbaikan pola dan system politik hari ini membutuhkan massa. Sekedar mengkail ingatan kita, mari kita samakan definisi siapa itu ulama. Secara bahasa, Ulama, kata jamak dari kata tunggal “Alīm”. Secara literal “`ulama” berarti orang-orang yang berilmu / memahami / mengerti / mengetahui. disebut dalam Al-Quran, yang artinya : “Sesungguh yang takut kepada Allah di kalangan hamba-hambanya hanya ulama.” (Q.S. Fathir: 28)
Dan Al-Quran menyebut banyak kata lain yang konotasi sama dengan ulama. Antara lain, “ulul ilmi” (yang punya ilmu), “ulul albab” (yang mempunyai hati / pengetahuan inti / substantif), “ulil abshar” (yang punya pengetahuan), “ulin nuha” (yang mempunyai akal yang sehat) dan ahludz-dzikri” (yang selalu mengingat Tuhan).
Dari definisi itu kita bisa mengambil simpul bahwa ulama merupakan salah satu manusia terbaik. Bukan hanya berilmu, ulama juga memiliki moral yang lebih baik dari kita. Itu artinya mereka sangat pantas bahkan berkewajiban berpolitik. Melalui politik kebijakan akan diambil, melalui politik nasib sebuah bangsa ditentukan, Melalui politik kebutuhan dan kepentingan ummat di agregasikan, melalui politik ranjau dan problem bencana ummat apapun di antarkan solusi cepat tanggap.
Bila selama ini praktik politik dipenuhi kelicikan, keculasan, maupun perbuatan amoral maka kini saatnya politik menjadi tempat sebaliknya. Karena itulah saya sangat mendukung bila manusia berilmu dan bermoral terjun ke dunia politik. ulama sosok yang makanannya, pakaiannya, tempat tinggalnya dan hal lain yang berkaitan dengan kehidupan duniawi ini sederhana, tidak bermewahan dan berlebihan serta tidak rakus dalam kenikmatan, Kalaulah begitu indah akhlak seorang ulama mengapa kita panik dan menjegal dengan seribu dalih bila ulama berpolitik. Bukankah nabi kita sebagai politikus titipan allah dan pimpinan besar politik dunia dimasanya dan bersabda bahwa ulama adalah pewarisnya ?
Kita pasti ingin memiliki politisi yang berakhlak demikian indah. Menurut saya, hal itu akan terwujud bila ulama diberi kesempatan lebih untuk berpolitik. Jangan terganggu dengan asumsi-asumsi yang bernada negatif bila ulama berpolitik. Kalaupun ada yang dianggap ulama kemudian setelah berpolitik ia khianat dan zalim, maka sebenarnya dia bukan ulama tapi pelacur agama meskipun ia Ketua Umum organisasi Islam. Kita sering keliru mendefinisikan ulama, bahkan menganggap seseorang itu ulama tanpa dasar.
Asal sudah hafal 30 Juz Al-Qur’an beserta maknanya kita anggap ulama. Asal sering shalat jama’ah dan hebat ceramahnya serta bersurban itu ulama, pimpinan pondok pesantren langsung saja kita anggap ulama.
Ulama itu mereka yang berbuat kebaikan tanpa berharap imbalan. Ulama itu tidak terima suap meski memiliki kesempatan dan kekuasaan. Ulama itu tidak senang publikasi apalagi pencitraan, ulama itu menepati janji kampanye dan malu bila tidak menepati. Ulama itu yang terus mencari dan menggali terobosan relevan untuk kemakmuran dan keselamatan ummat dunia akhirat, agama dan bangsa. Pribadi yang begini mestinya kita rangkul dan jemput serta wajib kita dukung untuk berpolitik wahai saudaraku. Sadarlah…. Insaflah…..taubatlah…..wahai saudaraku.
Pribadi yang begini wajib pula ikut aktif didalam politik. Salah bila kita biarkan pentas politik dipraktikkan orang-orang yang selama ini kita saksikan, kepala daerah kini milik orang kaya, gedung DPR sebagai tempat peristirahatan grombolan preman yang beruang, Politik itu bertujuan mensejahterakan ummat dan itu hanya bisa dilakukan dan terwujud kalau pilkada dan pileg dikuasai oleh ulama rabbany bukan yang lain.
Keresahan hati umat bila ulama berpolitik akan terbengkalai urusan keummatan lainnya seperti mendidik santri, pesantren, tidak ada waktu khutbah, ceramah maupun tausyiah. Menurut saya, ulama berpolitik itu justru mengurus umat dalam lini yang lebih besar. Mereka bukan hanya mengurus umat Islam namun semua agama. Bukankah hal itu yang dicontohkan Nabi dan para sahabat. Mereka mengurus umat sekaligus negara, mereka tetap ikhlas dan tidak bermewahan. Mereka tetap shalat berjamaah maupun aktifitas lainnya yang berkaitan dengan kerja-kerja ulama. maka alasan keresahan ini sungguh telah didramatisir dan sikap pesimis yang ditanamkan penjahat dunia politik.
Mereka yang biasa korupsi pasti takut bila ulama berpolitik. Alasannya sederhana, ruang mereka melakukan korupsi akan sempit. Ruang mereka melakukan proses tender dengan jalan menyimpang akan terhambat bahkan terhenti bila ulama mendominasi perpolitikan. Jadi, mereka yang takut ulama berpolitik akan mempropaganda jeleknya bila ulama berpolitik. Saya berharap Jangan terkecoh dengan propaganda itu.
Lalu ada pula yang resah bila ulama berpolitik akan diterapkan syariat Islam. Ketakutan ini juga tidak berasalan, 2 ormas Islam yang didalamnya dipenuhi ulama tidak pernah bicara itu dan Ulama kita di Indonesia sudah paham Pancasila. Sejak dulu itu hanya dihembuskan oleh mereka yang hendak memojokkan ulama. Apa ulama-ulama kita pernah menolak sistem demokrasi ? Tidak, mereka malah meminta umat tidak golput dalam setiap pemilu.
Kini saatnya kita bebaskan diri dari propaganda melarang ulama berpolitik. Saatnya kita bebaskan diri dari ketakutan hasil propaganda. Mari jadikan politik sebagai ‘ladang’ kebaikan. Dan ulama harus menjadi imam serta pelaku utama di ladang tersebut. Kita sambut era baru dimana orang-orang berilmu dan berakhlak mulia menjadi pemain utama perpolitikan dalam negeri. Menggunakan agama untuk kepentingan politik atau politisasi agama hukumnya haram. tapi, mengawal politik dengan agama hukumnya wajib. kalau politik tidak dikawal dengan agama, pelakunya akan menghalalkan segala cara dalam berpolitik. mengajak masyarakat dan elemen bangsa untuk tidak berputus asa dalam memperbaiki negeri ini secara terus-menerus adalah keharusan.
Selama ini logika kita telah keliru dan terkontaminasi penyakit duga-duga dan terka-terka yang sesat, akal sehat kita sedang sakit sehingga harus segera diterapi dan disembuhkan. Masa sih orang-orang berilmu dan berakhlak tidak kita dukung menjadi politisi. Sementara yang sudah jelas-jelas tidak jelas dan bahkan muncul sebagai calon dari grombolan perusak malah kita agung dan idolakan. dampak Kekacauan yang selama ini terjadi ternyata berawal dari kekeliruan logika kita. mari logika dan akal sehat kita segera taubatkan ke jalan yang benar. Wallahu A’lam.
Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN mengatakan “Tidak sedikit orang beranggapan, ulama identik dengan dunia dakwah dan tarbiyah, memberikan mauidhah kepada umat dan mengawal moral masyarakat. Sehingga sebagian orang menilai ulama tak sepatutnya terjun ke dunia politik praktis, di mana pernah dalam masa perjalanan bangsa ini, politik identik dengan ketidaksucian.
Padahal, sebagai pewaris Nabi, ulama semestinya mampu menjalankan tugas apa pun. Termasuk terjun ke dunia politik praktis dengan satu catatan penting, bulatnya tekad dan sucinya niat, semata-mata demi menegakkan keadilan dan menciptakan kemakmuran bagi rakyat demi mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala.
Apalagi UUD 1945 dan Pancasila merupakan warisan nilai dan wujud konkret pengorbanan para pendiri bangsa yang di antaranya juga terdiri atas para ulama. Setidaknya, ada tiga nilai strategis mengapa kini sosok ulama secara terang-benderang direkomendasikan.
Pertama, kapasitas intelektual. Ulama adalah sosok pembelajar, yang tak pernah bosan mengkaji dan mengamalkan ilmu, serta giat mengaktifkan majelis ilmu. Bahkan, lebih jauh, ulama di dalam Alquran disebutkan tidak semata memadai secara intelektual, tetapi juga memiliki self control yang kuat dalam menjalani tugas keummatan, yakni takut kepada Allah (QS 35: 28).
Dengan kata lain, ulama tak semata cerdas secara kognitif, tapi juga sangat cerdas secara emosional dan spiritual, sehingga kecerdasan intelektual yang dimiliki mampu mendorongnya berkiprah secara lebih baik, lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada diri, keluarga, kelompok, dan golongannya. Indonesia ini tidak sedang kekurangan orang pintar tapi sedang kekurangan orang benar. Ulama adalah sosok manusia yang tidak sekadar pintar tetapi juga benar.
Kedua, secara sosiologis, kesadaran umat Islam akan posisi strategis ulama dalam menyelamatkan kedaulatan NKRI mulai membaik, bahkan kesadaran itu dalam beberapa hal telah menjelma menjadi gerakan konkret di tengah-tengah kehidupan umat Islam sendiri.
Dalam kalkulasi politik, situasi dan kondisi tersebut tentu saja sebuah faktor utama yang patut diperhatikan. Terlebih kini para ulama tidak lagi sebatas menjadi pelengkap demokrasi tetapi telah berubah menjadi penentu warna dan arah demokrasi. Peristiwa Aksi Super Damai 212 adalah bukti tak terbantahkan akan hal tersebut. Seperti kita ketahui bersama, gerakan ulama dalam 212 telah menjadikan negara mampu secara gagah berani menegakkan hukum secara adil atas pelaku penistaan agama yang dilakukan oleh pejabat negara di tengah situasi politik yang sangat “panas”.
Eksistensi ulama menjadi semakin disadari strategis di negeri ini seiring dengan berbagai peristiwa yang mendiskreditkan ulama, baik secara hukum maupun sosial. Publik telah dibuat sadar dengan beragam bentuk penyerangan dan kriminalisasi terhadap ulama. Media mungkin saja bisa mengaburkan esensi dari peristiwa yang terjadi tetapi nalar kritis publik tak mungkin dibungkam dengan narasi irasional dan ganjil. Terlebih dalam sejarah kehidupan bangsa, ulama dan masyarakat ibarat dua sisi mata uang, tak bisa dipisahkan, apalagi dipertentangkan.
Terkait relasi ulama dan masyarakat, Bagi masyarakat, fatwa seorang alim yang mereka percayai berarti satu ‘kata-keputusan’ yang tak dapat dan tak perlu dibanding lagi. Sering kali telah terbukti, bagaimana susahnya bagi pemerintah negeri menjalankan satu urusan, bilamana tidak disetujui oleh alim-ulama di daerah yang bersangkutan. Sebaliknya pun begitu pula.
Beruntunglah salah satu masyarakat, bila mempunyai seorang alim, sebagai pemimpin rohani yang tahu dan insaf akan tanggungannya sebagai penganjur dan penunjuk jalan. Aman dan makmurlah salah satu daerah bilamana pegawai-pegawai pemerintah di situ tahu menghargakan kedudukan alim ulama yang ada di daerah itu.” Seiring dengan masifnya gerakan stigmatisasi terhadap Islam dan umat Islam, di mana tak mungkin ada “juru bicara” yang mampu menyampaikan perihal Islam secara komprehensif dalam segala sisi kehidupan, melainkan para ulama. Jadi, kini saatnya ulama ikut “bertarung” dan menentukan arah politik umat. Sudah bukan zamannya lagi, ulama sebatas dikunjungi untuk dimintai dukungan. Itu telah berlalu. Masyarakat mulai sadar dan tampaknya akan benar-benar all out mendukung.
Ketiga, persatuan ulama. Sisi yang sangat menentukan dalam dinamika perpolitikan belakangan adalah bersatunya para ulama. Bersatunya ulama ini tentu menjadi satu modal besar akan kepercayaan masyarakat terhadap ulama dalam membenahi kehidupan bangsa dan negara. Sebab, ulama yang direkomendasikan atau terjun di dalam ranah politik praktis bukanlah sosok yang maju atas kemauan sendiri, tetapi hasil musyawarah yang didukung oleh mayoritas ulama lainnya.
Kondisi tersebut diprediksi akan mampu menjadikan sosok ulama yang maju akan mampu mempertahankan jati dirinya yang tidak pragmatis dan hedonis. Sebab, ada banyak ulama dan tokoh masyarakat yang akan mengoreksi, memberikan nasihat dan kritik tajam jika pada kemudian hari sang ulama terlihat bengkok. Dan ini akan berjalan secara sistemis, mengingat kesadaran untuk membangun bangsa dan negara lebih baik dari sisi kedaulatan, terutama secara teritorial dan ekonomi bukan semata menjadi kesadaran ulama. Namun, hal ini merupakan tuntutan mayoritas negeri ini yang para elite partai pun mulai sangat peka terhadap masalah ini, hingga mereka pun bergerak dengan selalu memperhatikan rekomendasi dari ijtima ulama.
Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN Melalui tausiyahnya mengatakan bahwa Penyebaran Islam di Indonesia berkembang pesat. Hal itu dibuktikan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang kini beragama Islam. Secara historis, cara penyebaran Islam di Indonesia beragam dan melingkupi berbagai aspek kehidupan.
Perkembangan Islam di Nusantara pada awalnya dianggap sebagai periode sejarah yang sangat kabur. Islam datang ke Indonesia dengan kompleksitas yang tinggi.
Hal tersebut karena Islam tidak datang dari satu tempat, bukan atas peran kelompok tunggal, dan tidak dalam waktu bersamaan. Berbagai kompleksitas tersebut secara tak langsung memunculkan keragaman teori tentang kedatangan Islam di Indonesia.
Pada awalnya, kedatangan Islam di Indonesia memerlukan waktu yang tak singkat dan proses yang tak mudah. Di antara banyaknya teori yang menyebutkan sejarah kedatangan Islam di Nusantara, ada sebuah gagasan yang menyatakan bahwa proses Islamisasi di Indonesia dilakukan oleh para pedagang.
Meski begitu, ada pula peran tokoh agama dan pengembara sufi yang turut andil dalam perkembangan Islam di Nusantara. Langkah penyebaran Islam di Indonesia pun beragam dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Sebut saja di bidang pendidikan, kesenian, hingga perkawinan. Hal itu untuk memudahkan penerimaan Islam di lingkungan masyarakat.
Cara Penyebaran Islam di Indonesia Melalui Pendidikan salah satunya dengan didirikannya pesantren, masuknya Islam di Indonesia melalui pendidikan tak lepas dari peran tokoh agama dan pengembara sufi.
Penyebaran Islam melalui pendidikan pada mulanya terjadi di lingkup keluarga, hingga pada akhirnya berkembang di lingkup yang lebih luas, seperti surau, masjid, pesantren hingga kalangan bangsawan. Pesantren merupakan salah satu wujud Islamisasi sistem pendidikan lokal yang berasal dari zaman Hindu-Buddha.
Melalui peran Wali Songo yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa, sistem pendidikan lokal tersebut diakulturasikan dengan nilai Islam. Seiring waktu, proses akulturasi tersebut memunculkan sistem pendidikan Islam yang disebut dengan pesantren.
Penyebaran Islam Melalui Kesenian Ilustrasi penyebaran Islam melalui kesenian salah satunya melalui pagelaran wayang. Kesenian merupakan salah satu media yang digunakan oleh para ulama dalam menyebarkan Islam. Sebab, di awal kemunculannya di Indonesia, masyarakat masih memegang teguh kebudayaan Hindu, terkhusus di Pulau Jawa.
Melalui kesenian, para ulama melakukan pendekatan tanpa mengubah kebudayaan yang telah berkembang di masyarakat saat itu. Penyebaran Islam melalui kesenian dapat ditemukan pada seni musik, seni pahat, seni bangunan, hingga seni sastra. Misalnya saja Sunan Giri yang menciptakan permainan anak sebagai sarana berdakwah.
Lebih lanjut, media kesenian lain yang digunakan untuk menyebarkan agama Islam, yakni pagelaran wayang seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga.
Penyebaran Islam Melalui Tasawuf Pengaderan tauhid tasawuf.
Secara umum, tasawuf merupakan ajaran yang mendekatkan umatnya dengan Allah. Cara ini lebih mudah dilakukan oleh seseorang yang sudah mempunyai pengetahuan mengenai dasar ketuhanan. Penyebaran Islam di Nusantara tak bisa dilepaskan dari unsur tasawuf dan mistik. Hal itu dibuktikan dari adanya praktik sufisme yang menjadi ajaran tasawuf, terutama munculnya tarekat yang kini masih berkembang di Tanah Air.
Penyebaran Islam Melalui Perdagangan, Menurut catatan sejarah, masuknya Islam ke Indonesia melalui perdagangan dimulai pada abad ke-7 M hingga abad ke-16 M. Salah satu gagasan yang menyebutkan penyebaran Islam melalui perdagangan, yakni teori Gujarat yang dipopulerkan oleh Snouck Hurgronje, seorang peneliti berkebangsaan Belanda.
Menurutnya, pedagang beragama Islam di kota pelabuhan India datang ke wilayah Melayu untuk menyebarkan ajaran Islam. Selain pedagang dari India, terdapat pedagang dari Persia, Arab, dan China yang ditengarai membawa ajaran Islam dan menyebarkannya ke tiap-tiap wilayah yang dikunjungi. Politik menjadi salah satu cara masuknya agama Islam di Indonesia. Ketika seorang raja memegang peranan penting dalam penyebaran agama tersebut, secara sukarela rakyatnya akan mengikuti. Hal ini berkaitan dengan corak masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat kepatuhan tinggi.
Dengan demikian, politik dapat dijadikan sarana untuk berdakwah yang efektif dalam menyebarkan pengaruh Islam di masyarakat. Saat dakwah berhasil masuk ke dalam ranah politik, maka segala bentuk kebijakan kenegaraan dapat disinergikan dengan tujuan dakwah.
Lebih dari itu, politik dapat dijadikan strategi untuk menaklukkan kerajaan non-Islam oleh kerajaan Islam di zaman itu.
Penyebaran Islam Melalui Dakwah. Sebagian pendatang muslim di Indonesia memiliki tujuan dan niat untuk berdakwah. Hal inilah yang menjadi salah satu cara penyebaran Islam ke Indonesia. Selain dari pendatang, dakwah juga dilakukan oleh para santri dan keturunan dari pedagang muslim.
Penyebaran Islam melalui dakwah di kalangan para santri tak dapat dilepaskan dari peran pesantren. Sebab, setelah selesai menuntut ilmu di pesantren, para santri diharapkan dapat menyebarkan ajaran Islam melalui dakwah di lingkungan asalnya. Melalui cara ini, agama Islam terus tersebar ke seluruh penjuru Nusantara.
Penyebaran Islam Melalui Perkawinan, Status sosial dan ekonomi para pedagang muslim yang datang ke Indonesia secara tak langsung menarik minat penduduk pribumi untuk melakukan perkawinan. Ikatan tersebut menjadikan komunitas muslim semakin besar, hingga pada akhirnya muncul perkampungan dan pusat-pusat kekuasaan Islam.
Penyebaran Islam melalui perkawinan lebih menguntungkan saat terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja. Sebab, melalui hubungan tersebut proses Islamisasi akan semakin cepat dilakukan. Hal ini mengingat bahwa kerajaan memiliki pengaruh yang sangat tinggi terhadap penduduk.
Pada resepsi temu konsolidasi pemuda di pantai laut Bireuen, Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN mengatakan “Generasi milenial menjadi topik perbincangan yang cukup hangat di berbagai kalangan terutama dalam perannya di dunia politik. Kita butuhkan Peran Generasi Milenial Dalam Mewujudkan Politik yang Berkeadaban. Generasi milenial adalah generasi muda yang berumur antara 17-37 tahun. Mengutip hasil sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020.
Jumlah generasi milenial secara nasional mencapai 69.380.000 jiwa atau sekitar 25,87 persen dari populasi Indonesia, Memperhatikan jumlah tersebut, posisi milenial saat ini menjadi bagian utama yang akan menentukan kondisi kehidupan berpolitik yang beradab di masa kini dan masa yang akan datang. “Artinya, generasi milenial adalah bagian dari penentu kemajuan dan keberhasilan demokrasi, baik ditingkat daerah maupun nasional, Oleh karena itu kewajiban kaum milenial adalah pemegang kendali dunia politik untuk mendorong perwujudan demokrasi.
Kaum milenial dituntut untuk bersikap aktif membantu pemerintah dalam memberikan masukan dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Jangan hanya berdiam diri, namun berpikirlah kritis untuk ikut serta menjaga kondusifitas daerah, “Politik yang beradab dan beretika adalah politik yang ketika telah meraih kekuasaan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
Pada kegiatan PHBI yg dilaksanakan oleh satu Partai di ibu kota provinsi Aceh, Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN Melalui tausiyahnya mengatakan “Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.
Orang yang bangga dan membusungkan dada mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu ini tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri.
Momen demokrasi Indonesia sudah semakin dekat. pemilihan presiden dan pemilu legislatif akan diadakan serentak. Namun, momen yang seharusnya menjadi sukacita akan perubahan yang lebih baik lagi ini ternyata tidak disambut baik oleh pihak dari kaum golongan putih yang kebanyakan anak muda juga golongan tua yang mengklaim bahwa politik itu kotor maka jangan didekati.
5.000.000 lebih mahasiswa dengan berbagai fokus bidang yang berbeda saat ini dipaksa oleh sistem untuk memenuhi kebutuhan peradaban. Sementara menurut riset, untuk mencapai kondisi ideal, Indonesia membutuhkan 100.000 dokter umum, 6.000 dokter spesialis, 2.700.000 teknisi, 600 aktuaris, dan masih banyak lagi sektor yang harus dipenuhi oleh para mahasiswa. Tak ayal, pikiran untuk menjadi spesialis pun muncul, dimana mahasiswa berpikir bahwa apa yang perlu dilakukannya hanyalah menggeluti fokus bidangnya saja.
Sikap pasif kaum golongan putih ini bukan sepenuhnya salah mereka. Ada banyak tagar-tagar, #2019gantipresiden vs #2019duaperiode yang muncul bersamaan dengan hoax dan black campaign yang membuat pesta demokrasi jauh dari diksi ‘pesta’. Apalagi muncul perdebatan panas tak sehat antara sebutan cebong vs kampret yang menyebabkan fenomena migrasi rakyat twitter ke instagram yang notabene lebih apolitis. Paparan informasi negatif dan berita bohong yang sudah hampir tak bisa disaring lagi ini menyebabkan anak muda kehilangan gairah untuk menentukan siapa pemimpin negara dan pembuat kebijakan di periode selanjutnya.
Untuk melihat euforia politik negeri ini, lihat lah mahasiswa di kampus, banyaknya mahasiswa dari daerah luar, pasti tidak sulit menemukan teman yang tidak ikut memilih nanti karena tidak mengurus perpindahan surat A5. Padahal kampus melalui BEM telah memfasilitasi mahasiswa untuk pindah lokasi pencoblosan.
Ada yang bilang karena kita jurusan teknik, terlalu sibuk dengan tugas besar dan laporan praktikum katanya. Katanya, anak engineer itu tidak suka hal yang ribet. Dia suka hal yang sudah ada rumusnya dan pasti, bukan seperti pembicaraan politik yang tak ada habisnya.
Mahasiswa yang lain “Milih gak milih ya apa pengaruhnya buat aku ? Toh, engineer kerjanya juga ga ada hubungan dengan politik”. Gara-gara karakteristik inilah, banyak diantara mahasiswa yang memilih untuk golput, ataupun bersikap apatis terhadap pesta demokrasi.
Dari segi sosial, golput bisa saja terjadi sebagai fenomena. Namun, bagaimanapun kecewanya kita terhadap realitas politik yang ada, golput bukanlah pilihan yang bijak dan solutif. Apalagi jika alasannya hanya karena tidak suka dan tidak merasa perlu dengan kegiatan politik. Persoalannya, banyak anak muda yang sudah terlanjur skeptis melihat politik identik dengan materi yang rumit dan menganggap tidak ada kaitannya dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Politik seolah-olah merupakan suatu materi yang dibatasi untuk kalangan tertentu, seperti halnya tanda ‘18+’ untuk kalangan 18 tahun keatas. Padahal, politik bukan hanya milik birokrat atau politisi. Bukan pula milik Presiden atau kepala daerah. Politik adalah kita semua yang berada dalam suatu negara. Mau tidak mau, kita menjadi praktisi di dalamnya baik sebagai pengamat maupun sebagai pelaku.
Coba buka mata mu, lihatlah betapa sebenarnya mahasiswa semua ini pada hakikatnya adalah pelaku politik, baik saintis yang sibuk di laboratorium maupun teknisi yang sibuk merancang bangunan sekalipun. misalnya sebagai teknisi, Jika kehidupan tidak sejahtera, temuan tidak dihargai, kompetensi tidak ter-standardisasi, dan lainnya, apa lagi yang bisa mengubahnya kalau bukan politik? Politik ini Aktivitas kebangsaan, ada banyak hal dalam kehidupan sehari-hari sebetulnya sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik. Politik mempengaruhi keseharian kita melalui kebijakan politik yang menyentuh tiga ranah sekaligus, yakni personal, rumah tangga, dan ruang publik.
Dalam ranah personal, kebijakan politik datang mengatur hak-hak kita sebagai warga negara, seperti hak atas pendidikan, kesehatan, kebebasan berekspresi, dan lain sebagainya. Di ranah rumah tangga, politik hadir dalam kebijakan yang menentukan harga sembako, tarif listrik, harga gas elpiji, sewa rumah, biaya pendidikan anak, hingga besaran upah atau gaji yang diterima oleh suami/istri yang bekerja.
Sementara di ruang publik, kebijakan politik hadir dalam aturan mengenai parkir, porsi bantuan untuk mesjid, penentuan jalan-jalan yang harus segera di rekontruksi, penetapan prioritas saluran pembuang air yang harus segera diwujudkan untuk tidak terjadi banjir dan jalan longsor serta aturan penggunaan fasilitas public lainnya. Bahkan, berpartisipasi dalam memperbaiki kehidupan warga di lingkungan kita juga sebetulnya sudah dikatakan berpolitik. Jadi, hampir semua aspek dan ruang hidup kita ternyata dipengaruhi oleh politik, entah disadari atau tidak. Salah satu produk politik yang akan sangat mempengaruhi masa depan lulusan mahasiswa teknik adalah Undang-Undang. Peraturan yang diciptakan oleh seperangkat legislatif yang terlebih dahulu telah dipilih pada pemilu seperti bermain judi. Jika kita memilih orang yang benar dan berkapabilitas maka luaran kebijakan yang dihasilkan akan baik, begitu pula sebaliknya. Sebab, setiap pemimpin nantinya akan memiliki perbedaan fokusan pengembangan.
Misalkan saja, pada era Soekarno, ia lebih fokus pada penataan struktur pemerintahan dan kebijakan baru. Melanjutkan karya Sang Proklamator, Soeharto membuat iklim ekonomi Indonesia memiliki sasaran memajukan pertanian dan industri. Pada zaman habibie, Indonesia dikenal gencar berusaha keluar dari keterpurukan ekonomi dengan mengeluarkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter. Pada zaman Megawati, Indonesia lebih fokus pada perbaikan sistem perbankan. Di era Gus Dur, kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah serta pajak dan retribusi daerah muncul.
Lain halnya pada masa SBY saat subsidi energi menjadi prioritas yang besar, dimana kebijakan ini menjaga daya beli masyarakat. Selain subsidi energi, salah satu alokasi anggaran terbesar melebihi subsidi energi itu adalah sektor pendidikan dengan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara di era Jokowi para teknisi, ahli sipil, arsitek, dan perencanaan serta usahawan sangat diuntungkan oleh kebijakan pembangunan infrastruktur dan investasi besar-besaran.
Kendati kita tidak mengambil minat dalam politik, bukan berarti politik tidak menaruh minat pada kita. Ada banyak sekali pihak yang ingin diuntungkan dengan proses pemilihan ini, sebab ada banyak kepentingan di dalamnya. Namun masalahnya, dengan sistem demokrasi seluruh suara akan sama nilainya, sehingga bagaimana pun seseorang pasti diminati oleh politik, se-acuh apapun ia terhadap politik itu sendiri.
Ibaratnya, orang-orang yang haus akan tahta itu akan menyebarkan ideologi, janji, dan kapabilitas palsu kepada 20.000 orang gila. Di lokasi yang sama, ada 20.000 professor pintar yang tahu dan cerdas, namun diam saja sebab ‘sibuk’ dan ‘tidak minat’ dengan pemilihan itu. Dalam eksekusi pemilu nantinya, pada akhirnya meskipun dengan kecerdasan yang superior, yang menang adalah kumpulan orang gila dengan pemimpin licik. Sang professor tahu, namun kecerdasan dan ke-tahu-annya tidak berguna. Sebab, yang dihitung adalah jumlah suara.
Konsekuensi dari terpilihnya salah satu dari pada kedua calon presiden, anggota DPR RI, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota nanti, akan menentukan setidaknya baik/buruknya bidang profesi kita di masa yang akan datang. Sebab, engineer tidak bisa berjalan sendiri. Ia pasti, mau tidak mau akan dipengaruhi oleh kebijakan yang akan dihasilkan.
Sedari dulu, mahasiswa selalu dielu-elukan sebagai subjek terpercaya dalam mengawal kebijakan pemerintah. Hal ini lantaran kalangan ini dianggap sebagai kaum intelek yang berada pada posisi netral. Benarkah? Tanpa bermaksud mengeneralisir dan menyalahi takdir, kondisi ini tidak salah jika mahasiswa dikatakan mampu melihat serta mengkritisi keadaan pemerintah. Tak hanya otaknya yang diklaim terlatih mengkaji persoalan, mahasiswa berada dibawah institusi legal sehingga track untuk mencapai meja pemerintah lebih dekat. Apalagi, para pengajar di area kampus adalah mereka yang sering bersinggungan langsung dengan pemerintah.
Ditambah lagi, pemikiran kritis mahasiswa dianggap mampu menganalisa kebijakan-kebijakan pemerintah. Maka posisi mahasiswa menjadi sangat strategis untuk turut berpartisipasi secara aktif dalam berpolitik karena menjadi pengawal kebijakan dan penyambung lidah rakyat.
Mirisnya, mahasiswa dibenturkan oleh permasalahan ”kuliah saja sudah susah, tambah susah mikirin politik”. Niat berkontribusi untuk bangsa tapi menunda sampai nanti saja kalau sudah sukses, lantas sekarang fokus kuliah tanpa peduli apa yang terjadi dengan bangsanya. Padahal semua yang kita hadapi adalah menyangkut politik, bahkan pendidikan yang kita nikmati sekalipun adalah bagian dari produk politik.
Kondisi lingkungan bangsa pasca reformasi pun menghadirkan kenyamanan tersendiri. Tidak ada gejolak nyata ataupun common enemy, sehingga tampak seperti semuanya tidak ada yang salah. Lupa melihat masih ada rakyat yang susah, sehingga label mahasiswa sekarang cenderung elitis dan kurang merakyat menjadi sukar untuk dielakkan. Katanya penyambung lidah rakyat? Saat ini, kurang lebih ada jumlah mahasiswa Indonesia kurang lebih sekitar7.500.000 jiwa atau 2,8 persen dari jumlah penduduk. Angka ini setara dengan 3,9 persen dari jumlah pemilih pemilu sebelumnya, yakni 192.000.000.
Sekitar 192.000.000 pemilih akan memilih presiden dan wakil presiden, 575 anggota DPR RI, 136 anggota DPD, 2.207 anggota DPRD provinsi, dan 17.610 anggota DPRD kabupaten/kota. Para calon legislator itu berasal dari partai nasional ditambah partai lokal yang khusus berkompetisi di Aceh. Jika kamu memang tidak menyukai kata politik, setidaknya pilihlah mereka yang akan menguntungkan dirimu, keluargamu, dan khususnya profesimu.
Memang, kita tidak bisa menilai segala aspek mengenai para calon, terkhusus di bidang yang bukan keahlian kita. Oleh karenanya, tidak ada salahnya bagi kita untuk mengkaji hanya di bidang keahlian masing-masing. Karena seiring bertambahnya usia, kita tidak bisa idealis, melainkan realistis. Misalkan saja, anak elektro yang fokus pada wacana kebijakan energy listrik, anak FTK yang mengkritisi dan melihat problem kemaritiman, dan bidang lainnya. Kita lahir dari proses politik, hidup bersama politik. Kita adalah politik itu sendiri. Tak bisa dihindari. Maka, tak perlu alasan lagi. Ayo bersuara melalui lembaran kertas pada pemilu mendatang.
Dalam kegiatan meeting koordinasi calon donatur, Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN Melalui tausiyahnya mengatakan “Pengusaha adalah seorang yang mengembangkan dan mengelola usaha bisnis dengan harapan memperoleh keuntungan dengan mengambil resiko dalam dunia ekonomi. Mereka kadang juga disebut sebagai Entrepreneur yang sangat berpengaruh dalam laju ekonomi di sebuah Negara. Oleh sebab itu mereka perlu dibekali dengan pemahaman tentang politik. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan adalah :
Pertama untuk Membekali enterpreneur menjadi warga negara yang baik. Seorang entrepreneur yang hidup sebagai warga Negara yang baik akan menaati setiap nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, memastikan tujuan dia usahanya akan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Kedua karena Realitas politik dipastikan mempengaruhi bidang ekonomi ataupun bisnis. Seorang Entrepreneurship membutuhkan skill untuk dapat membaca situasi politik, sehingga ia mampu mengambil keputusan yang tepat terkait bidang bisnis yang digelutinya.
Kenyataan di masyarakat kita temukan banyak para pengusaha akhirnya terjun ke dunia politik. Dengan pemahaman politik yang memadai, maka mereka sudah dibekali jika akhirnya mereka akan terjun ke dunia politik. Adapun materi-materi yang dibahas adalah yang perlu dipahami secara ringkas dan sederhana, seperti ;
1. Teori kekuasaan dan teori tujuan Negara serta teori system pemerintahan. 2. Tentang konsep politik seperti: konsep ideologi dan konsep Negara serta konsep kekuasaan. 3. Demokrasi dan musyawarah. 4. Hukum konstitusi dan kehidupan konstitusional.
Materi ini penting agar insan politik tahu aturan main kehidupan konstitusional dan dapat bermain berdasarkan aturan main yang ada.
5. Kultur Politik dan Kehidupan kemasyarakatan 6. Bisnis Dan Lingkungan Politik serta Bisnis dewasa ini. 7. Bisnis Politik Dan Politik Bisnis
Untuk mencapai hal ini maka perlu diberikan program khusus atau pelatihan bagi calon pengusaha. Pelatihan ini dilaksanakan dengan cara kreatif dan menyenangkan dalam bentuk presentasi, diskusi dengan materi yang real di masyarakat, dan latihan ketrampilan. Dengan demikian mereka akan menjadi pengusaha / entrepreneur yang akan berdampak pada pembangunan bangsa.
Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN pada meeting pengukuhan misi sosialisasi partai mengatakan “Merujuk publikasi Komunikasi Politik dan Pencitraan, gaya safari politik Megawati mengunjungi desa terpencil, tempat pelelangan ikan, hingga pasar. Prabowo Subianto melakukan safari politik berkunjung ke sejumlah tokoh penting. Fungsi safari politik strategi yang dilakukan tokoh politik meningkatkan citra partai di mata masyarakat. Hasil dari safari politik juga dianggap mempengaruhi elektabilitas.
Membangun Popularitas dan Elektabilitas Politik, mesin politik dan popularitas dua variabel yang dipercaya menentukan siapa saja yang ingin tampil ke permukaan sebagai calon pemimpin publik. Solid atau tidak jajaran elite politik yang bersangkutan pun menentukan sejauh mana mampu mengatasi segala model resistansi yang berkembang. Elektabilitas politik tingkat keterpilihan partai atau politikus dalam pemilihan, seperti pemilihan umum atau pemilu. Elektabilitas ini dipengaruhi berbagai hal, rekam jejak partai atau politikus, hingga upaya kampanye. Elektabilitas tokoh akan melonjak setelah melakukan safari politik ke berbagai tempat dan even.
Tak kalah penting, terkait fluktuasi popularitas tokoh yang ditawarkan. Menurun popularitas tokoh juga mempengaruhi tingkat kekuatan mesin politik. Popularitas pun bermakna untuk pergerakan mesin politik. Mesin politik yang sederhana diyakini mampu bergerak lincah, seiring makin menguat popularitas tokoh. Sebaliknya, mesin politik yang kokoh bisa memudar, seiring merosotnya popularitas tokoh utamanya.
Politik sebagai pembahasan rasional fenomena kekuasaan dan kenegaraan telah ada sejak masa prasejarah. Saat itu manusia mulai hidup berkelompok telah menjadi karya tulis di Yunani 450 Sebelum Masehi, oleh para filsuf Herodotus, Plato, dan Aristoteles.
Namun, politik sebagai disiplin ilmu memiliki dasar, kerangka, dan ruang lingkup yang jelas pertama kali digunakan oleh Jean Bodin di Eropa pada 1576. Setelah itu makin berkembang pada abad 19. Pada abad 21, ilmu politik telah menunjukkan banyak perkembangan. Itu ditunjukkan lahirnya berbagai produk berupa konsep, teori, pendekatan, yang semuanya bertujuan membuat politik yang sehat dan bermanfaat untuk rakyat banyak. Salah satu produk keilmuan pada abad 21 adalah survei politik yang bisa digunakan untuk prediksi persaingan. Survei Kedai KOPI misalnya yang diadakan pada waktu dan jangka tertentu dengan metode face to face interview dengan responden yang tersebar secara proporsional di seluruh wilayah pemilihan.
Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN Melalui pengajian politik di 1 stasiun radio online mengatakan “Islam menyebut politik dengan istilah Siyasah. Jika yang dimaksud politik adalah siyasah mengatur segenap urusan umat, maka Islam sangat menekankan pentingnya siyasah. Bahkan Islam sangat mencela orang-orang yang tidak mau tahu terhadap urusan umat. Tetapi jika siyasah diartikan sebagai orientasi kekuasaan, maka sesungguhnya Islam memandang kekuasaan hanya sebagai sarana menyempurnakan pengabdian kepada Allah. Tapi Islam hanya menjadi sarana dalam masalah kekuasaan.
Sebagian orang seringkali menilai istilah politik Islam diartikan sebagai politik menurut perspektif Islam, hal itu sebagai bentuk kewajaran karena dalam dunia nyata kita selalu disuguhkan praktik politik yang kurang atau sama sekali menyimpang dari ajaran Islam. Sehingga muncul pertanyaan apakah politik Islam itu ada? Apakah Islam punya konsep khusus tentang politik yang berbeda dengan konsep politik pada umumnya? Sampai batasan tertentu, Islam memang memiliki konsep yang khas tentang politik. Akan tetapi, tentu saja Islam tetap terbuka terhadap berbagai konsep politik yang senantiasa muncul untuk kemudian bisa melengkapi konsep yang sudah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan konsep Islam yang sudah ada.
Sifat terbuka Islam dalam masalah politik ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa Islam tidaklah menetapkan konsep politiknya secara amat rinci. Dalam hal ini, Islam memang harus memiliki corak politik. Akan tetapi, politik bukanlah satu-satunya corak yang dimiliki oleh Islam. Sebab jika Islam hanya bercorak politik tanpa ada corak Iain yang seharusnya ada, maka Islam yang demikian ialah Islam yang parsial.
Munculnya varian-varian Islam dengan corak politik yang amat kuat pada dasarnya didorong oleh kelemahan atau bahkan keterpurukan politik umat Islam saat ini. Karena kondisi sedemikian ini, politik kemudian menjadi salah satu tugas panting umat Islam, untuk bisa bangkit dari kemunduran agar terhindar dari komoditas politik pragmatis.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan.
Termasuk juga persoalan keseharian manusia, dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama cenderung digunakan untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Orientasi utama politik Islam terkait dengan masalah kekuasaan yaitu tegaknya hukum-hukum Allah dimuka bumi, hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan tertinggi ialah kekuasaan Allah. Sementara, manusia pada dasarnya sama sekali tidak memlliki kekuasaan. Bahkan Islam menentang adanya penguasaan Absolut seorang manusia atas manusia yang lain. Wallahu A’lam.
Di Indonesia sendiri, tidak sedikit ulama yang terjun ke dunia politik. Entah terjun langsung sebagai kontestan atau menjadi tim pemenangan. Dan tentu punya maksud dan tujuan ulama terjun ke dunia politik. Politik sendiri merupakan suatu seni atau ilmu yang dilakukan untuk meraih kekuasaan. Kebanyakan usaha yang digunakan untuk mensukseskan langkah politik, diwarnai dengan berbagai cara yang bahkan menyalahi aturan yang berlaku. Tentu masyarakat kita sudah tidak asing dengan istilah politik uang yang kerap kali dimanfaatkan beberapa oknum untuk mensukseskan langkah politiknya.
Cara lain yang dianggap kotor oleh kebanyakan orang adalah politisasi agama. Agama yang suci digunakan sebagai alat politik merupakan tindakan yang dianggap menodai nilai-nilai agama itu sendiri. Oleh karena itulah, politik dianggap kotor lantaran usaha-usaha yang digunakan kerap kali menyalahi norma atau nilai agama yang berlaku. Walau politik dianggap kotor, tidak sedikit tokoh agama atau ulama yang memutuskan untuk terjun ke dunia politik.
Ulama yang memiliki keilmuan yang lebih dibanding orang awam, tentu memiliki dasar dalam melakukan tindakannya. Termasuk dalam berpolitik. Munurut saya ulama yang berpolitik memiliki manfaat bagi keberlangsungan umat dalam beribadah. “Andai para ulama Aswaja tidak dekat dengan penguasa lalu penguasa memilih mazhab tertentu dan sudah kongkalikong dengan mazhab tertentu, lalu menamakan mazhab kita sebagai mazhab Nusantara, mau buat apa kita ? “Coba kalau Indonesia misalnya tiba-tiba penguasanya bermazhab Wahabi, makam para wali tidak akan dikatakan sebagai makam keramat, namun central kemusyrikan,” mau buat apa kita ?
Ulama yang berpolitik memiliki langkah yang strategis untuk melindungi umat dan menjaga kestabilan negara. Tentu tidak sedikit orang beranggapan ulama yang berpolitik telah terjun kedalam dunia yang suram. Bisa saja apa yang dilakukannya membawa kemaslahatan. Oleh karena itu Tgk. Agus Armada berpesan kepada umat Islam agar tidak memandang buruk ulama yang berpolitik.
Kemudian mari mengambil contoh yang terjadi di Syria, negara yang kerap dilanda konflik agama. Di Syria, mazhab Aswaja merupakan mazhab yang minoritas. Sedangkan yang menjadi mayoritas adalah mazhab Syiah. Bisa saja mazhab Aswaja dihapuskan dari Syria. Namun, hal itu tidak terjadi lantaran ulama Aswaja yang dekat dengan penguasa Syiah.
Syekh Said Ramadan al-Buthi, akrab dengan penguasa Syiah. Bahkan al-Buthi kerap menjadi makmum sholat jum’at di masjid Syiah Walau setelah itu sholat Dzuhur. Alasannya berteman dengan penguasa Syria untuk melindungi mazhab Aswaja. Dengan berbuat baik, maka penguasa akan segan. Alhasil mazhab Aswaja tidak diberangus oleh penguasa yang menganut mazhab Syiah. Ini hanya satu contoh, tentu banyak contoh manfaat lainnya dan beda daerah akan beda manfaatnya. karenanya, sikap ulama yang berpolitik tidak boleh dicap sebagai ulama suu` yang tunduk pada penguasa.
Uraian tersebut disampaikan oleh Tgk. Aguswandi (ABA ARMADA) Pimpinan Armada Integration Aceh yg juga ketua DPD PARTAI GABTHAT KAB. BIREUEN pada counter opini meja bundar sambil ngopi Gayo bareng.